Saya dibesarkan di dalam keluarga Katolik yang bisa dibilang sangat taat dalam beragama. Saya dulu sangat relijius. Setiap Sabtu atau Minggu saya tidak pernah absen dalam mengikuti misa di gereja. Saya bahkan merasa bangga menjadi putra altar yang pernah melayani Kardinal di gereja kecil di kota kelahiran saya. Tapi itu dulu, karena sekarang suatu proses telah merubah pola pikir saya menjadi non-relijius, menjadi orang yang tidak percaya bahwa Tuhan ada. Proses menjadi tidak percaya ternyata tidak gampang dan memakan waktu yang tidak sebentar.
Desember 2012 lalu, saya mendengar cerita dari adik sepupu saya yang bersekolah di salah satu seminari di Jawa. Seminari adalah sekolah setara tingkat SMA, yang bertujuan untuk mengarahkan murid-muridnya untuk menjadi Pastor. Sekolah ini mewajibkan muridnya untuk tinggal di asrama di area sekolah dan kunjungan keluarga/orang-tua hanya dibatasi sekali setiap bulan. Adik sepupu saya bercerita bahwa ada teman satu sekolah yang baru saja meninggal. Temannya meninggal karena ada ranting pohon besar lapuk di area sekolahan yang jatuh menimpa kepalanya sampai berlubang. Tragisnya, peristiwa jatuhnya ranting pohon itu disaksikan langsung di depan mata ibunya (waktu itu bertepatan dengan kunjungan orang-tua murid). Dia juga menceritakan bahwa ibunya sempat berusaha untuk menahan kepala anaknya yang bolong sembari kakaknya yang ternyata juga murid senior di sekolah itu berteriak minta tolong.
Mendengar kisah tersebut saya tidak bisa berkomentar banyak, sangat memilukan. Tapi cerita tersebut mengingatkan kepada salah satu cerita teman saya hampir 10 tahun yang lalu. Di tahun 2004 saya kuliah di Australia dan tinggal di sebuah homestay bersama seorang teman dari Eropa. Meskipun kami tidak begitu dekat, dia bercerita banyak pengalaman yang dia alami sewaktu menjadi staff Emergency Response Team. Dia pernah berada di lokasi suatu peristiwa kecelakaan yang sangat parah di mana dia melihat seorang ibu yang harus menyaksikan anak laki-lakinya meninggal di belakang mobil karena terjepit. Pada saat itulah dia merubah pandangan hidupnya, dengan kata-katanya yang masih saya ingat:
“Tuhan tidak peduli atau tidak ada. Saya pilih yang terakhir.”
Tahun 2004 inilah yang menjadi titik di mana saya mulai ragu dan membuka banyak pertanyaan. Kenapa banyak kesengsaraan di dunia ini sedangkan orang-orang yang beragama bersyukur bahwa mereka ditolong oleh “kekuatan di atas”. Kenapa “kekuatan di atas” tersebut tidak menolong orang-orang yang lebih membutuhkan? Apakah benar apa kata teman saya, bahwa tuhan tidak peduli? Ya, itulah jawaban saya saat itu. Tuhan hanya tidak peduli, karena tanpa dia siapa yang menciptakan manusia dan alam semesta?
Proses berjalan selama beberapa tahun ke depan sampai saya menjadi sangat tertarik dengan sains. Sosok ilmuwan yang mengubah obsesi saya terhadap sains adalah Carl Sagan. Dari situlah saya mulai tertarik dengan astronomi, astrofisika, ilmu fisika pada umumnya, kosmologi, dan beberapa sains modern seperti ilmu kuantum, relativitas, fisika nuklir dan lainnya. Saya memahami bagaimana alam semesta ini terbentuk, saya mengerti secara teknis bagaimana Einstein bisa menuangkan teori relativitasnya, saya mengerti proses-proses dari inflasi kuantum 13,8 miliar tahun lalu menjadi proses evolusi yang menghasilkan sosok manusia, saya belajar untuk rendah hati dan berkata tidak tahu jika memang tidak tahu. Saya menyadari bahwa ilmu pengetahuan maju dengan pesatnya sehingga kekosongan/ketidaktahuan yang biasanya diatributkan sebagai “karya tuhan” menjadi sebuah fenomena alam yang bisa dijelaskan tanpa faktor supernatural. Saya juga menyadari bahwa moral tidak datang dari agama. Moralitas datang dari empati dan pengalaman hidup manusia, bukan dari ajaran agamanya.
Saya melirik kembali pernyataan teman saya, “Tuhan tidak peduli atau tidak ada. Saya pilih yang terakhir.”
Saya juga pilih yang terakhir.
/boo/
Menyukai ini:
Suka Memuat...