Bagaimana cara menjadi ateis?

20130825-164259.jpg

Pertanyaan ini sebenarnya cukup konyol untuk dijawab (namun benar-benar pernah ditanyakan di FP ABAM). Sama seperti pertanyaan “bagaimana cara menjadi golput”? Jawabannya: jangan ikut pemilu! Sesederhana itu. Menjadi ateis, sesimpel tidak percaya Tuhan. Itu saja. Tak ada syahadat atau ritual tertentu yang mengukuhkan Anda jadi ateis karena memang ateisme bukan agama.

Tapi ini menjadi pembahasan yang valid ketika kita bertanya lebih lanjut. “Sejak lahir saya dididik beragama dan percaya pada Tuhan, bagaimana mungkin saya membuktikan kepercayaan saya itu salah selama ini?” Ada beberapa langkah menarik yang Anda bisa coba, setidaknya baca.

Baca lebih lanjut

Mengapa saya ateis? (Jawaban dari Veronica Pramesti)

Dikirim oleh: Veronica Pramesti

Mengapa saya menjadi seorang ateis, tentu saja ini merupakan sebuah kisah hidup yang tidak dapat diceritakan dalam bentuk testimoni singkat, mengingat keputusan yang saya ambil beriringan dengan perjalanan hidup saya yang saat ini masih berlangsung. Ateis adalah ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan makhluk supernatural lainnya. Untuk sampai ke tahap tidak percaya tentunya bukan suatu hal yang mudah mengingat saya sendiri lahir di dalam keluarga yang sangat relijius dan taat beribadah. Saya tidak pernah absen pergi ke gereja, selalu hadir dalam kebaktian keluarga, mengadakan renungan pagi setiap hari, dan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Baca lebih lanjut

Mengapa saya memutuskan menjadi ateis? Cerita Dewi Rainny ( sumber kompasiana)

Original writer : Rainny
Sumber: kompasiana

Jangan takut, ini bukan upaya atheisasi. Orang Indonesia boleh jadi takut dengan ‘kristenisasi’ dan di Eropa, orang takut dengan ‘islamisasi.’ Tapi ini bukan upaya atheisasi. Upaya mengkonversi orang-orang beragama menjadi atheis bertentangan dengan prinsip atheisme itu sendiri. Atheisme bukan kepercayaan yang harus diimani begitu saja. Atheisme adalah keyakinan seperti keyakinan ilmiah yang harus ditemukan sendiri.

Atheisme nyaman bagi diri saya, melegakan batin saya, tetapi sulit berhadapan dengan tekanan sosial di Indonesia.

Orang masih memicingkan mata pada atheisme, menganggap atheis sebagai orang paling hina di muka bumi. Atheis dianggap sebagai sumber kekejian dan kebejatan moral.

Atheis bukanlah orang tanpa etika dan moral, hanya saja atheisme tidak mendasarkan moralitas dan etikanya pada ajaran Tuhan, melainkan pada akal budi manusia. Saya kira bukan tempatnya di sini untuk memberi penjelasan apa itu atheisme.
Baca lebih lanjut

Kenapa Anda ateis? (Jawaban -H-)

Saya dilahirkan di keluarga chinese tradisional. Jadi keluarga saya sangat, katakanlah, kolot dalam berbagai hal, termasuk agama.
Saya dibesarkan dgn ajaran KongHuCu dan ajaran leluhur, yang dimana saya setiap hari sembahyang di altar yg ada di dlm rumah, dan setiap penanggalan 1 dan 15 imlek, saya pergi ke kelenteng utk sembahyang. Dan ritual ini saya jalanin selama 26 tahun. Ironisnya, saya disekolahkan di sekolah Katolik dari TK sampai SMU. Ini membuat saya bertanya tanya ttg kebenaran agama dan tuhan.

Saya membaca alkitab dr PL sampai PB dan menemukan berbagai kontradiksi2. Di SMU saya mulai bertanya kepada guru agama dan pastor yg ada di sekolah ttg “kebijakan bapa surgawi” yg kelihatannya plin plan dan tidak menemukan jawaban yg memuaskan. Tp di masa2 itu, saya tidak skeptis dan mungkin tidak begitu tertarik dgn agama dan sains. Masih masa main2.

Pada masa kuliah, saya lbh banyak mengenal hal2 mistis dr keluarga sendiri. Mulai dari orang pintar, sampai dgn tatung2 yg dipakai oleh bos2 besar di indonesia. Pada waktu itu saya sangat tertarik dgn hal2 gaib. Saya minta dibukakan “mata batin” yg katanya bs melihat “dunia lain”. Meskipun tertarik, sy adalah org yg sangat rasional. Jd saya mau buktikan sendiri, bukan disuruh percaya saja. Dan tidak ada satupun “guru besar ilmu gaib” yg mampu membukakan mata batin saya. Berbagai alasan dikemukakan, belum waktunya lah, harus puasa lah, dan berbagai alasan klenik lainnya.
Baca lebih lanjut

Mengapa Anda ateis? (Jawaban mike shu)

Story by: Mike Shu

Saya adalah orang yang sangat logis, sangat aktif, energetic, mencintai hidup dan sangat penuh rasa ingin tahu. Terlahir dari pasangan Tionghoa Buddha-Katolik, saya termasuk anak yang taat beribadah, aktif di dalam gereja, dan menjadi putra altar adalah hal yang normal ketika saya masih di bangku SD – SMP. Namun, seiring berkembangnya pengetahuan dan ilmu yang saya dapat, semakin haus pula keingintahuan saya. Saya mulai bertanya-tanya tentang keberadaan dan penjelasan akan konsep Tuhan. Bertahun-tahun saya bertanya kepada para ahli agama dan pastor. Namun, jawaban semacam “karena Tuhan mengajarkan begitu” atau “karena sudah tertulis di Alkitab” sangatlah tidak memuaskan.

Hal ini berlanjut hingga saya duduk di bangku SMA, di mana saya mulai mempelajari sejarah agama-agama yang ada beserta isi ajarannya yang banyak menuai kebencian, pembunuhan, diskriminasi, dan sebagainya. Ketika itu saya mulai meragukan kebenaran konsep Tuhan. Tapi saya tidak gegabah, saya merasa masih perlu belajar lebih banyak dan tentunya mencari konfirmasi atas sisi sejarah yang saya pelajari.
Baca lebih lanjut

Jika nanti ternyata setelah mati Tuhan benar-benar ada, bukankah ateis rugi?

Ini adalah pertanyaan yang sering saya jumpai setelah menjadi ateis. Bagaimana kalau nanti setelah mati kami berhadapan dengan Tuhan? Siapkah kami dengan konsekuensi masuk neraka? Bukankah lebih baik mengambil posisi yang aman, yaitu percaya Tuhan dan beragama sehingga pasti terhindar dari neraka?

Tunggu dulu. Tahukah Anda bahwa ada lebih dari 2700 konsep tuhan dan dewa-dewi yang terekam dalam sejarah manusia? Ada setidaknya ratusan agama dan aliran kepercayaan, banyak di antaranya bahkan tidak mengajarkan konsep surga dan neraka. Memang sekarang hanya ada beberapa agama besar di dunia, tetapi beberapa sistem kepercayaan (Yunani dan Mesir kuno, misalnya) bertahan selama ribuan tahun sebelum punah digantikan agama-agama yang populer saat ini. Belum lagi banyak sistem kepercayaan baru yang semakin populer (Scientology, Mormon, Saksi Yehovah, antara lain), dan entah bagaimana masa depan mereka.
Baca lebih lanjut

Meninggalkan Agama Bukan Berarti Meninggalkan Semua Tradisi dan Nilai Agama

Saya memulai hidup dengan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Protestan. Waktu SD Saya beberapa kali ikut kebaktian Khong Hu Cu walaupun Khong Hu Cu belum jadi agama resmi Indonesia. Pada saat SMP, Saya sering mengikuti kebaktian Vihara Buddhis Threavada, tapi gak terlalu rajin. Adek saya jauh lebih rajin, dan dia sering membawa majalah buddhis ke rumah.

Membaca buku-buku Buddhis membuat Saya beranggapan bahwa buddhisme itu lebih rasional daripada agama lain. Sampai kuliah, KTP saya masih Kristen tapi Saya lebih suka untuk mengikut aktivitas Buddhisme di kampus. Semester akhir kuliah, Saya melamar kerja di sebuah yayasan Kristen, kebetulan KTP saya masih Kristen. Karena ada temen yang di sana dan direferensikan, akhirnya Saya bisa diterima bekerja. Lucunya, saya pernah memimpin doa di sana!

Baru setelah waktunya KTP diperpanjang, saya mengganti agama KTP saya menjadi Buddhisme. Menjadi seorang Buddhis, Saya sempat mengimani dogma-dogma Buddhisme seperti karma, rebirth, 31 alam, 7 cakra, dan energi panas kundalini. Saya juga menjalankan aktivitas-aktivitas khas Buddhisme seperti belajar fengshui, ba zi, bahkan mempelajari reiki. Saya bahkan sempat membeli amulet yang bisa membuat aura saya terang berkharisma dan mengikuti workshop berbayar untuk dibukakan auranya! Haha, tapi itulah saya dulu. Itu semua saya lakukan karena saya ingin sukses, dan di saat itu saya percaya bahwa hoki ditentukan dari karma baik.

Namun, yang membuat saya skeptis adalah ketika saya justru mempelajari Buddhisme. Setelah mempelajari meditasi dan energi, saya menjadi skeptis, dan di situlah mulai muncul konflik batin. Dan setelah makin mendalami lagi, ya Olloh, ternyata Buddhisme itu cuma membahas tentang psikologi diri. Saya bisa menerima itu, tapi banyak aspek lain dalam Buddhisme terutama spiritual yang Saya tinggalkan.

Sekarang saya bisa dikatakan sebagai ateis agnostik. Menurut saya, meninggalkan agama bukan berarti meninggalkan semua tradisi dan nilai agama. Menjadi ateis membuat saya lebih skeptis dan menolak ajaran-ajaran dogmatis, tapi saya sadar ada beberapa nilai Buddhisme yang turut menentukan bagaimana saya memandang hidup dan menjalaninya.

– Dono, ateis agnostik.

Mengapa Anda Ateis? (Jawaban boerong hantoe)

Saya dibesarkan di dalam keluarga Katolik yang bisa dibilang sangat taat dalam beragama. Saya dulu sangat relijius. Setiap Sabtu atau Minggu saya tidak pernah absen dalam mengikuti misa di gereja. Saya bahkan merasa bangga menjadi putra altar yang pernah melayani Kardinal di gereja kecil di kota kelahiran saya. Tapi itu dulu, karena sekarang suatu proses telah merubah pola pikir saya menjadi non-relijius, menjadi orang yang tidak percaya bahwa Tuhan ada. Proses menjadi tidak percaya ternyata tidak gampang dan memakan waktu yang tidak sebentar.

Desember 2012 lalu, saya mendengar cerita dari adik sepupu saya yang bersekolah di salah satu seminari di Jawa. Seminari adalah sekolah setara tingkat SMA, yang bertujuan untuk mengarahkan murid-muridnya untuk menjadi Pastor. Sekolah ini mewajibkan muridnya untuk tinggal di asrama di area sekolah dan kunjungan keluarga/orang-tua hanya dibatasi sekali setiap bulan. Adik sepupu saya bercerita bahwa ada teman satu sekolah yang baru saja meninggal. Temannya meninggal karena ada ranting pohon besar lapuk di area sekolahan yang jatuh menimpa kepalanya sampai berlubang. Tragisnya, peristiwa jatuhnya ranting pohon itu disaksikan langsung di depan mata ibunya (waktu itu bertepatan dengan kunjungan orang-tua murid). Dia juga menceritakan bahwa ibunya sempat berusaha untuk menahan kepala anaknya yang bolong sembari kakaknya yang ternyata juga murid senior di sekolah itu berteriak minta tolong.

Mendengar kisah tersebut saya tidak bisa berkomentar banyak, sangat memilukan. Tapi cerita tersebut mengingatkan kepada salah satu cerita teman saya hampir 10 tahun yang lalu. Di tahun 2004 saya kuliah di Australia dan tinggal di sebuah homestay bersama seorang teman dari Eropa. Meskipun kami tidak begitu dekat, dia bercerita banyak pengalaman yang dia alami sewaktu menjadi staff Emergency Response Team. Dia pernah berada di lokasi suatu peristiwa kecelakaan yang sangat parah di mana dia melihat seorang ibu yang harus menyaksikan anak laki-lakinya meninggal di belakang mobil karena terjepit. Pada saat itulah dia merubah pandangan hidupnya, dengan kata-katanya yang masih saya ingat:

“Tuhan tidak peduli atau tidak ada. Saya pilih yang terakhir.”

Tahun 2004 inilah yang menjadi titik di mana saya mulai ragu dan membuka banyak pertanyaan. Kenapa banyak kesengsaraan di dunia ini sedangkan orang-orang yang beragama bersyukur bahwa mereka ditolong oleh “kekuatan di atas”. Kenapa “kekuatan di atas” tersebut tidak menolong orang-orang yang lebih membutuhkan? Apakah benar apa kata teman saya, bahwa tuhan tidak peduli? Ya, itulah jawaban saya saat itu. Tuhan hanya tidak peduli, karena tanpa dia siapa yang menciptakan manusia dan alam semesta?

Proses berjalan selama beberapa tahun ke depan sampai saya menjadi sangat tertarik dengan sains. Sosok ilmuwan yang mengubah obsesi saya terhadap sains adalah Carl Sagan. Dari situlah saya mulai tertarik dengan astronomi, astrofisika, ilmu fisika pada umumnya, kosmologi, dan beberapa sains modern seperti ilmu kuantum, relativitas, fisika nuklir dan lainnya. Saya memahami bagaimana alam semesta ini terbentuk, saya mengerti secara teknis bagaimana Einstein bisa menuangkan teori relativitasnya, saya mengerti proses-proses dari inflasi kuantum 13,8 miliar tahun lalu menjadi proses evolusi yang menghasilkan sosok manusia, saya belajar untuk rendah hati dan berkata tidak tahu jika memang tidak tahu. Saya menyadari bahwa ilmu pengetahuan maju dengan pesatnya sehingga kekosongan/ketidaktahuan yang biasanya diatributkan sebagai “karya tuhan” menjadi sebuah fenomena alam yang bisa dijelaskan tanpa faktor supernatural. Saya juga menyadari bahwa moral tidak datang dari agama. Moralitas datang dari empati dan pengalaman hidup manusia, bukan dari ajaran agamanya.

Saya melirik kembali pernyataan teman saya, “Tuhan tidak peduli atau tidak ada. Saya pilih yang terakhir.”

Saya juga pilih yang terakhir.

/boo/

Mengapa Anda Ateis? (Jawaban -AP-)

Sebelum menjadi ateis, saya adalah seorang nasrani, namun saya tidak pernah menjadi seseorang yang relijius dan betul-betul taat pada agama, bahkan sejak SMP saya sangat menyukai lelucon-lelucon yang dianggap ofensif untuk agama-agama tertentu. Bertentangan dengan hal tersebut, saya tetap pergi ke gereja, membaca alkitab setiap malam, mendengarkan renungan bahkan merasa bersalah bila lupa berdoa atau malas ke gereja. Dalam alam bawah sadar saya tertanam dogma bahwa bila saya tidak melakukan semua itu, saya akan masuk neraka. Hal ini mungkin akibat latar belakang pendidikan saya yang sejak SD bersekolah di sekolah kristen.

Sejak kecil dogma ini selalu bertentangan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya seperti: “Kenapa Tuhan menghukum kita kalau kita bertanya mengenai ajaranNya? Bukannya Tuhan menciptakan otak supaya kita bisa mikir?” “Kalau manusia asalnya dari Adam dan Hawa, kenapa bisa ada fosil dinosaurus dan manusia purba?” “Kenapa Tuhan benci dengan kaum homoseksual? Mereka kan gak salah apa-apa,” dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini saat itu hanya bisa saya simpan saja dalam hati, saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal tersebut dan tetap beriman pada agama saya. Saya ingin sekali mengkritisi ajaran-ajaran yang ada, namun rasa takut dalam pikiran saya lebih kuat dibanding rasa ingin tahu saya. Jujur, saya bahkan tidak terpikir ada manusia yang tidak percaya akan keberadaan sosok Tuhan.
Baca lebih lanjut

Apa yang dimaksud Einstein dengan “God didn’t play dice”?

Pertanyaan terkait:
– bukankah Einstein percaya Tuhan?
– apa agama einstein?

Jawaban:

Harus dilihat konteksnya.
1. Einstein adalah seorang Panteis, berarti god yang dimaksud dia mengacu kepada God seorang Panteis yaitu Alam Semesta.
jadi artinya “Alam Semesta tidak bermain dadu”

2. Quantum
bermain dadu disini, merujuk kepada Heisenberg’s “Uncertainty Principle” dimana salah satunya mengatakan bahwa keberadaan sebuah partikel itu tidak bisa ditentukan secara pasti.
yang bisa dikatakan adalah probabilitas keberadaan partikel tersebut.
jadi 2 partikel dalam keadaan yang sama persis, belum tentu menempati posisi yang sama persis.
yang bisa ditentukan adalah seberapa besar kemungkinannya partikel tersebut berada di posisi tertentu. permainan peluang ini yang dimaksud “bermain dadu” oleh Einstein.

Klik untuk mengakses p655-661.pdf

–LadyLusifer–

Mengapa Ateis? (Jawaban alika)

Saya lahir di keluarga yang beragam. Ayah saya Muslim dan ibu saya Kristen Protestan. Ketika sudah dewasa saya dan kakak-kakak saya dibebaskan untuk memilih agama masing-masing, termasuk untuk tidak menganut agama mana pun, meski selagi kecil kami semua dididik secara agama. Awalnya saya dididik secara Kristen oleh ibu saya dan diwajibkan membaca Alkitab dari awal sampai habis. Sedangkan ayah saya yang menjunjung nilai sekuler mengajarkan saya untuk berempati dan menggunakan akal sehat. “Ah, nggak perlu pusing memikirkan akhirat. Kita kan nggak tahu surga sama neraka itu ada apa nggak. Yang penting kita berbuat baik dan berguna bagi manusia,” kata ayah saya dulu. Ini sangat berbekas di diri saya, karena saya melihat bahwa ayah saya yang tidak pernah membicarakan agama, tidak pernah salat, atau pun puasa saat bulan Ramadan, adalah orang yang sangat peduli. Sudah banyak sekali orang yang ia bantu sampai lulus kuliah tanpa peduli pamrih. Semuanya dilakukan dengan diam-diam. Saya pun tahu karena banyak orang yang datang bertamu untuk menyampaikan rasa terima kasih. Sampai-sampai, suatu saat nenek saya yang Kristen sempat bilang bahwa ayah saya adalah orang yang “paling Kristen” di keluarga saya.

Cukup ironis bahwa membaca Alkitablah yang membuat saya skeptis terhadap agama. Saya pikir tidak adil kalau orang yang baik tidak dapat masuk surga kalau memegang agama yang salah atau percaya tuhan yang salah. Saat ini ada 2 milyar umat Kristen di dunia. Apa itu berarti bahwa 5 milyar manusia akan masuk neraka, termasuk ayah dan kakak saya? Atau taruhlah Islam agama yang “benar.” Apakah ini berarti lebih dari 5 milyar manusia akan masuk neraka, berhubung penganut Islam hanya 21% dari total penduduk dunia? (Sumber: Adherents.com)

Belum lagi banyak ayat yang kontradiktif dalam Alkitab sendiri. Di satu sisi Tuhan mengijinkan—bahkan kadang memerintahkan—pembunuhan (1 Samuel 12-13): “12 Beginilah firman TUHAN semesta alam: Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka, ketika orang Israel pergi dari Mesir. 13 Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai.” Hal ini sungguh janggal di pikiran saya dan tidak sesuai hati nurani saya. Namun di sisi lain Alkitab juga mengajarkan kasih sayang. Banyak ajaran Yesus yang saya kagumi, yang mungkin memang merupakan gebrakan di masanya.

Saya mulai belajar untuk cherry-picking. Apa yang baik saya ambil dan terapkan, dan yang menurut saya buruk tidak saya gubris. Namun kemudian saya berpikir. Kalau kitab suci merupakan semacam “kebenaran sejati” yang seharusnya bersifat absolut dan timeless, mengapa mesti dipilah-pilah? Saya lalu sampai kepada kesimpulan bahwa, well, mungkin agama hanya produk budaya manusia. Nilai-nilai moralitas sifatnya tidak stagnan. Apa yang beribu-ribu tahun lalu dianggap baik tidak lagi dianggap baik sekarang. Misalnya, terbukti bahwa hukuman mati tidak menciptakan masyarakat yang aman dan tenteram (kita lihat bahwa negara-negara Skandinavia yang tidak menerapkan hukuman mati merupakan negara-negara yang paling tenteram menurut Global Peace Index, misalnya). Pernikahan dengan anak di bawah umur sekarang tentu saja tidak lagi wajar. Memiliki lebih dari 1 istri juga bisa dibilang sudah tidak jaman. Apalagi kita tahu sekarang bahwa “wanita lebih banyak dari pria” cuma mitos. Pokoknya, banyak nilai agama yang harus dimodifikasi sesuai dengan perkembangan jaman agar sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Karena hal-hal di atas saya berkesimpulan bahwa saya tidak perlu agama untuk menjadi manusia yang baik. Saya cukup mengandalkan empati dan akal sehat sebagai modal dasar saya menjadi manusia yang bermoral.

Saya menyelesaikan SMA di Amerika Serikat. Karena melihat bahwa banyak guru dan teman-teman saya yang tidak beragama, saya baru sadar bahwa memang manusia tidak perlu beragama. Sebelumnya saya pikir manusia mesti beragama. Maklum, saya besar di Indonesia, di mana kolom agama masih diwajibkan di KTP (ya ampun, sudah abad 21 loh ini!). Saat itulah saya mulai menyadari dan menerima bahwa saya tidak lagi beragama.

Mengapa ateis? Tidak ada bukti bahwa ada sosok pencipta atau sosok Tuhan personal yang ikut campur dalam kehidupan manusia. Kalau ada Tuhan yang Maha Kuasa, mengapa Ia mengijinkan begitu banyak manusia sengsara, belum lagi yang melakukan berbagai macam tindakan kejahatan atas namaNya. Sedangkan kalau Tuhan tidak Maha Kuasa, maka Tuhan seperti apa yang ada? Dan perlukah kita sembah?

Ateisme bagi saya adalah posisi terbuka. Saya tentu tidak bisa bilang secara pasti bahwa tidak ada sosok Tuhan (ada banyak sekali konsep Tuhan, termasuk Tuhan non-personal yang hanya sebagai pencipta; juga lihat: apa sih bedanya tidak percaya Tuhan ada dan percaya bahwa Tuhan tidak ada?). Saya hanya menyadari bahwa alam semesta dan segala isinya ini tidak memerlukan adanya pencipta, dan selama belum ada bukti bahwa Tuhan memang ada (entah Tuhan yang bagaimana), ya saya tidak perlu percaya. Tanpa saya sadari, saya sudah masuk kategori ateis.

Sekarang karena kakak-kakak saya sudah menikah, ada banyak tambahan baru di keluarga saya, termasuk yang Katolik, Hindu, panteis, dan irelijius. Meskipun keyakinan kami berbeda, toh kami tetap akur dan saling mengasihi. Apa serunya sih dunia yang seragam?

What’s your story? ;)

-Alika

Mengapa anda ateis? (Jawaban -val-)

prayerSaya lahir dari keluarga muslim yang taat. Ayah saya berprofesi sebagai guru agama dan aktif di lembaga Muhammadiyah. Ibu saya relawan di Taman Pendidikan Al quran masjid setempat. Sejak kecil saya dibacakan kisah kisah nabi sebelum tidur beserta mukjizat dari para nabi, dan tak lupa mengaji setiap selesai sholat magrib berjamaah, dan ikut taman pendidikan al quran hingga kelas 3 smp, khatam al quran, menjuarai beberapa perlombaan berbasis pengetahuan agama. Sejak Sekolah Dasar hingga SMA saya dimasukkan di sekolah yayasan Muhammadiyah.

Perkenalan pertama saya dengan ateisme tidak secara baik baik. Pertama kali saya mengenal kata atheis adalah ketika menonton film pemberontakan G30S PKI, yang diputar orde baru setiap hari kesaktian pancasila. Yang mendoktrin bahwa komunisme itu keji, tanpa menjelaskan apa itu komunisme. Semua dalam paradigma hitam-putih, benar-salah. Saya dijelaskan bahwa orang orang yang membunuh jendral-jendral secara keji dalam film itu adalah ateis komunis. Orang orang jahat yang tidak bertuhan. (Tentu dewasa ini kemudian saya tau bagaimana kejadian G30S PKI yang sebenarnya, apa itu komunisme, perbedaannya dengan ateisme, dan alasan kenapa PKI kala itu mampu meraih dukungan rakyat Indonesia sehingga mampu menjadi partai terbesar kedua di Indonesia).

Baca lebih lanjut