Penulis:
‘ateis menuhankan otak, ateis menuhankan logika, ateis menuhankan
sains’. Itu adalah sebagian dari kata-kata yang sering di lontarkan
para teis kepada ateis.
Sains menjelaskan bahwa bumi itu bulat, atau lebih tepatnya elips.
Walaupun anda tidak percaya terhadap pernyataan ini tidak akan membuat
fakta bahwa bumi itu
berbentuk elips berubah menjadi berbentuk datar. Sains tak butuh orang
percaya atau tidak percaya. Sains membutuhkan bukti atau
fakta empiris. Fakta empirislah satu-satunya
yang dibutuhkan sains. Dan sains tidak pernah memberikan claim,
pernyataan yang diberikan pun didasari bukti-bukti valid.
Virus, kuman, elektron, proton, atau banyak hal lainnya secara fakta
tidak dapat ditangkap oleh pancaindra manusia. Tapi, sains bisa
membuktikannya bahwa semua itu memang real/ nyata. Pancaindra tidak
mampu menjangkaunya, tapi alat bantu kehidupan manusia bisa
menjangkaunya. Kini kita tahu bahwa objek-objek tersebut memang
terbukti ada. Bukti-lah kuncinya, bukan klaim. Bisa saja seseorang
mengklaim ini dan itu, karena ini dan itu tersebut tercantum dalam
sebuah buku suci, tapi jika tidak ada bukti yang menyertainya,
bagaimana bisa hal tersebut disebut real/ nyata. Patokannya adalah
bukti. Alangkah bodohnya jika kita meyakini sesuatu tapi tidak
memiliki bukti.
Mengklaim itu mudah, tapi membuktikannya itu yang susah. Klaim luar
biasa membutuhkan bukti luar biasa itu kata Carl Sagan (eh benar kan?.
Mengklaim bahwa perahu nuh itu ada, musa menyeberang laut merah dengan
membelahnya itu terjadi, dan bulan pernah terbelah 2 dan menyatu
kembali, itu adalah mudah. Tapi, jika tidak ada bukti kuat yang
mendukung klaim ini, bagaimana kita bisa membedakannya dari dongeng
atau bukan dongeng? Dongeng tidak butuh bukti dan tidak ada yang
menuntut bukti. Adakah yang menuntut sapu terbang dalam novel Harry
Potter itu nyata atau tidak? Tidak ada. Adakah yang menuntut manusia
hobita dalam The Lord of The Ring itu nyata atau tidak? Tidak ada.
Adakah yang menuntut kantung ajaib dalam film doraemon itu nyata atau
tidak? Tak ada kewajiban untuk membuktikan. Ya namanya juga dongeng.
Dongeng tak butuh orang repot-repot membuktikannya. Dongeng memang tak
ada bukti. Semua mengetahuinya. Sesuatu dianggap nyata membutuhkan
bukti. Dongeng tak butuh bukti. Karena tidak ada bukti, dongeng
bukanlah sesuatu yang nyata.
Dan ada lagi kalimat yang sering saya dengar dari teis:
A: Kitab suci agama saya saya benar
B: apa buktinya?
A: sebab tertulis dalamnya bahwa kitab suci ini benar.
Gimana sih, mengklaim sendiri, lalu menyatakan benar sendiri.
Bagaimana mungkin sumber pembenarnya dari kitab sucinya sendiri. Jeruk
makan jeruk lah yah. Bisakah kitab suci membuktikan klaim kebenaran
dengan bukti di luar dirinya? Tentu saja bisa. Saya sangat yakin bahwa
hal tersebut bisa dilakukan. Jika sudah ada bukti, ya selanjutnya
adalah tinggal mengumumkan bukti tersebut agar bisa dinilai
keabsahannya secara lebih seksama. Mengclaim sana-sini seperti yang
sering dilakukan para teis
Tapi, kembali ke judul tulisan ini bahwa sains memang membutuhkan
bukti, tapi iman tidak. Jelas sudah bahwa keduanya memiliki paradigma
yang berbeda.
Ateis = tidak percaya tuhan, lalu bagaimana bisa menuhankan sains?
Kalau menuhankan sains bukan ateis dong namanya đ