Masa Sih Manusia Bisa Baik atau Hidup Damai Tanpa Agama?

dogoodheart

 

Baru-baru ini saya menemukan komentar berikut terhadap salah satu tulisan saya di web ABAM: “Manusia tidak bisa damai tanpa agama dan hanya dengan mengandalkan logika.” False dilemma yang tersirat dalam komentar si X, bahwa “tanpa agama” berarti “hanya mengandalkan logika” akan saya bahas lain kali. Jujur, saya sudah lelah membaca dan mendengar komentar serupa. Banyak penganut agama yang berasumsi bahwa manusia hanya bisa “baik” kalau beragama. Yah, wajar saja kalau X (yang sepertinya orang baik-baik) percaya bahwa (seperti kebanyakan umat beragama yang baik-baik juga) semua konflik agama disebabkan oleh “oknum” dan bukan oleh ajaran-ajaran agama, juga bahwa manusia betul-betul butuh agama agar bisa hidup dengan damai atau agar bisa menjadi manusia yang baik. Memang benar, kebanyakan konflik agama  tidak murni disebabkan perang ideologi, namun juga disebabkan banyak faktor lain seperti ekonomi, wilayah, rebutan sumber daya, tribalisme, dsb. Sure, sure. Saya juga jujur kurang yakin kalau dogma tok bisa membuat sekelompok orang kalap tanpa dibantu kemisikinan, ketimpangan sosial, dan faktor lainnya. Masa iya FPI mau repot-repot mengancam tempat-tempat hiburan kalau bukan ujung-ujungnya minta amplop? Tidak mungkin kan lapisan bawahnya yang seringkali rela berpanas-panas ria membawa spanduk itu menikmati gaji jauh di atas UMR? Cukup sering juga agama menjadi lem identitas yang menyatukan kelompok yang tertindas, rebutan sumber daya, wilayah dan lain sebagainya yang saya sebut tadi. Bahwa doktrin agama seringkali berpotensi memperburuk keadaan atau memperpanjang konflik mungkin bisa dibahas di kesempatan lain.

Di kesempatan ini, saya tertarik membahas beberapa hal: apa betul manusia (sebagai kelompok) tidak bisa hidup damai tanpa agama? Lalu apa kriteria “manusia baik” yang layak dijadikan pegangan? Dan dengan mempertimbangkan kriteria “baik” ini, mengapa kita sangat perlu akal sehat (atau yang kayaknya disebut “logika” oleh si X) dalam mengambil keputusan?

~

Sebelum membahas apa manusia bisa hidup damai tanpa agama, pertama-tama kita harus terlebih dahulu sepakat dengan kriteria “damai.” Sebagai kelompok, manusia dapat dikatakan damai kalau bebas dari konflik. Mungkin kriteria netral yang dapat saya gunakan di sini adalah yang dipakai oleh Global Peace Index. GPI adalah produk The Institute for Economics and Peace yang berbasis di Australia. Setiap tahun GPI mengeluarkan daftar peringkat negara-negara menurut indeks “kedamaiannya,” sesuai dengan data yang dikumpulkan oleh The Economist Intelligence Unit. Kriteria “damai” GPI antara lain sebagai berikut: jumlah konflik internal maupun eksternal, jumlah kematian yang disebabkan konflik internal maupun eksternal, tingkat kriminalitas, stabilitas politik, aktivitas teroris, jumlah tindakan kejahatan yang violent, jumlah kasus pembunuhan per 100.000 orang, dan lain-lain. You get the picture.

~

Berikut adalah negara-negara paling damai menurut GPI, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang saya sebut di atas (urutan sesuai peringkat, dimulai dari peringkat paling tinggi): Islandia, Denmark, Selandia Baru, Austria, Swiss, Jepang, Finlandia, Kanada, Swedia, Belgia, Norwegia, dst. Daftar lengkapnya bisa ditemukan di: http://en.wikipedia.org/wiki/Global_Peace_Index#Global_Peace_Index_rankings

Kalau kita sepakat bahwa kriteria damai yang digunakan GPI cukup baik dan bahwa asumsi si X bahwa “manusia tidak bisa damai tanpa agama” memang betul, seharusnya negara-negara yang menduduki peringkat teratas dalam GPI adalah negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama. Betul kan? Bagaimana mungkin negara-negara tersebut bisa damai (i.e., memiliki tingkat konflik, tingkat kriminalitas, tingkat pembunuhan, tingkat kematian akibat konflik, dst. yang rendah) kalau mayoritas penduduknya tidak beragama?

Yuk kita lihat, seperti apa sih kepercayaan mayoritas penduduk di negara-negara yang saya sebut di atas?

NOTE: sisa persentase menjawab tidak tahu atau tidak bersedia menjawab.

Islandia: 31% percaya Tuhan, 49% tidak percaya Tuhan namun percaya semacam “spirit” atau “life force”, dan 18% tidak percaya Tuhan, spirit, dan life force*

Denmark: 28%, 47%, 24%

Austria: 44%, 38%, 12%

Swiss: 44%, 39%, 11%

Jepang: Kurang dari 15% mengaku memiliki afiliasi agama (2010)**

Finlandia: 33%, 42%, 22%

Kanada: 30% tidak percaya Tuhan***

Swedia: 18%, 45%, 34%

Belgia: 37%, 31%, 27%

Norwegia: 22%, 44%, 29%

(Sumber: Eurobarometer Poll 2010, Canadian Ipsos Reid Poll, dan Craig Lockard)

Bandingkan angka-angka di atas dengan Indonesia yang populasi irrelijiusnya mungkin tidak sampai 1% (maklum kalau susah mendapatkan angka yang akurat berhubung WNI “diharuskan” beragama).

*Pada tahun 2013, 76,18% penduduk Islandia berafiliasi dengan the Church of Iceland. Angka ini sekilas membingungkan, mengingat hasil survey yang saya berikan di atas. Yang perlu dimengerti, “afiliasi” dengan agama tidak berarti seseorang menganut agama tersebut atau beribadah menurut agama tersebut, seperti yang akan saya jelaskan di bawah.

**Menurut Craig A Lockard. Societies, Networks, and Transitions Since 1450 (2nd ed., 2010). Secara budaya, Jepang mengkombinasikan beberapa kepercayaan, termasuk Shinto. Sedangkan menurut makalah yang diterbitkan Harvard University Press tahun 1988, 70%-80% penduduk Jepang menjawab tidak percaya agama saat diikutsertakan dalam survey.

***Survey yang diselenggarakan di Kanada berbeda dengan survey yang dilaksanakan di negara-negara Eropa yang disebut di atas. Survey yang saya sebut diselenggarakan oleh The Canadian Ipsos Reid Poll (2012). Yang menarik, menurut survey yang sama, dari 31% yang mengaku tidak percaya Tuhan (BUKAN dari total penduduk), 33% mengidentifikasi diri sebagai Katolik, dan 28% mengaku Protestan. Bisa dilihat bahwa mereka yang mengaku tidak percaya Tuhan, secara kultural adalah Katolik atau Protestan. Sebagai tambahan, menurut sensus pemerintah Kanada, populasi yang nonrelijius meningkat dari 12,6% pada tahun 1991 hingga 23,9% di tahun 2011.

~

Survey agama memang sedikit problematis, seperti yang dapat kita lihat di atas. Kok bisa orang yang mengaku tidak percaya Tuhan juga mengaku Katolik? Ambil contoh kakak ipar saya (Italia-Amerika) yang “Katolik” secara kultural. Ia tidak pernah ke gereja maupun berdoa, namun merayakan Natal, tidak jauh beda dengan saya yang ateis namun dibesarkan secara protestan dan masih suka menyanyikan lagu-lagu Natal atau bertukar kado saat Natal. Juga teman saya yang orang Turki yang mengaku Muslim, namun tidak percaya Tuhan personal, organized religion, dan bahkan tidak tahu kalau wanita tidak boleh salat di masjid saat menstruasi. Bingung? In short, “agama” bagi mereka yang nonrelijius (bahkan ateis) dapat berperan sebatas sebagai identitas kultural, jadi kita harus ingat bahwa “afiliasi agama” sama sekali berbeda dengan religiositas.

Biar mudah, berikut daftar bangsa yang paling tidak religius* menurut GALLUP WorldView Poll 2006-2011 (diakses 14 September 2011):

  1. Swedia
  2. Denmark
  3. RRC
  4. Norwegia
  5. Estonia
  6. UK
  7. Hong Kong
  8. Perancis
  9. Czech Republic
  10. Jepang
  11. Finlandia
  12. Belgia
  13. Selandia Baru

*Daftar sesuai peringkat, dari paling tidak religius.

Di Eropa, jumlah penduduk yang tidak beragama semakin meningkat. Menurut studi berdasarkan sembilan survey berbeda yang hasilnya dilaporkan di pertemuan American Physical Society di Dallas, AS, pada tahun 2011, agama akan mulai “punah” di negara-negara berikut: Australia, Austria, Kanada, Czech Republic, Finlandia, Irlandia, Belanda, Selandia Baru, dan Swiss. Model matematika yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh Dr. Daniel Abrams di tahun 2003 untuk untuk mengukur “kematian” (kepunahan) bahasa-bahasa dunia (http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-12811197). Cukup lucu bahwa banyak negara yang digunakan dalam survey juga dinilai GPI sebagai negara-negara yang paling “damai” di dunia. Kebetulan?

~

Jadi, menganggapi komentar pengunjung web ABAM tadi: tidak, manusia sebagai kelompok tidak butuh agama untuk damai, untuk tidak berbuat jahat, dst. (by the way, baru-baru ini empat penjara di Swedia yang penduduknya hanya 18% teis ditutup karena jumlah pelaku tindakan kriminal menurun). Mungkin saja si X tadi secara pribadi merasa agama memberikan dia jangkar moral, belum lagi ketenangan, harapan, dsb. Mungkin saja ada manusia-manusia yang akan saling bacok kalau tidak dilarang agama, atau akan mencuri, atau akan korupsi, seperti yang sering terjadi di Indonesia ini. Eh…ah sudahlah.

Kita yang dibesarkan di Indonesia sudah dikondisikan dari kecil untuk percaya bahwa tanpa agama manusia tidak akan berfungsi secara sosial dan akan bertindak anarkis, bahwa agamalah yang berperan sebagai rem moral. Maka mungkin wajar kalau ada ketakutan bahwa tanpa rem moral tersebut, manusia akan bertindak semaunya. Kalau Anda sering main ke FP ABAM, tentu sering kan ketemu pertanyaan kocak seperti, “Kalau tidak percaya Tuhan, berarti kalian bebas dong ngapain aja (dari nyolong, membunuh, sampai ke yang absurd seperti ‘ngeseks dengan adik/ibu sendiri’—true story)?” Namun, dengan logika serupa, seharusnya Indonesia yang mayoritas beragama lebih bersih dari tindakan kejahatan, korupsi, human trafficking, konflik internal, dan sebagainya dibandingkan bangsa-bangsa “kafir” yang saya sebutkan di atas. Kenyataannya? Justru tingkat pendidikan dan kesejahteraanlah yang berkorelasi lebih erat dengan  kedamaian, dengan rendahnya tingkat kriminalitas.

Anyway, sekedar menawarkan perspektif. Berikut adalah lima negara yang menduduki peringkat terendah GPI: Sudan, Irak, Syria, Somalia, Afghanistan. Apa ini berarti agama membuat orang saling bunuh? Tidak juga. Kenyataannya memang jauh lebih kompleks dari itu, karena seperti yang saya kemukakan di awal, banyak variabel lain yang memiliki andil. Hanya, kalau agama menjamin  manusia akan damai atau kalau manusia butuh agama agar damai, melihat bukti yang ada, ya sudah jelas salah. Saya yakin, tanpa percaya Tuhan atau agama pun  Anda tidak akan lantas jadi maling, pemerkosa, dan pembunuh. Atau taruhlah Anda termasuk sebagian kecil manusia yang memang ada bakat psikopat, tidak punya empati, dan cuma takut sama neraka (semoga tidak ya), mbok ya jangan pukul rata dan menganggap bahwa semua orang seperti Anda.

~

Lalu mengapa manusia perlu akal sehat (mungkin ini yang disebut si X tadi sebagai “logika”—terus terang saya juga kurang paham) agar bisa benar-benar “baik”? Ambil contoh teman saya di Amerika Serikat. Katherine ini murid S2, salah satu murid yang paling berprestasi di bidang kami. Suatu saat saya, Katherine, dan teman saya satu lagi sedang bersiap-siap menonton film horor. Entah kenapa, link Amazon Prime yang ingin kami gunakan untuk menonton film online sedang kumat. Karena frustrasi, teman saya yang satu lagi mengusulkan agar kami menonton film tersebut di link lain yang gratis (dan seperti kebanyakan situs film gratis, juga ilegal). Katherine terdiam sebentar. Kata dia pelan-pelan (mungkin karena tidak mau menyinggung perasaan teman saya atau terkesan menggurui), “Hm, sebisa mungkin I want to do it the right way.” The right way artinya, tidak melanggar hukum dengan menonton film bajakan di link online gratis.

Memang perlu sedikit saja akal sehat untuk mengerti bahwa menonton film bajakan, menyogok polisi demi menghindari surat tilang, tidak membayar pajak seperti semestinya, sama saja dengan mencuri, karena merugikan pihak-pihak lain dengan mengambil atau tidak memberikan uang kepada pihak-pihak yang berhak secara hukum. Katherine ini juga tidak membeli pakaian dari beberapa merk Amerika Serikat karena tidak setuju dengan bagaimana mereka memperlakukan pekerja-pekerja pabrik di berbagai negara ketiga (baik dari kondisi kerja sampai tunjangan hidup). Katherine juga tidak membeli berlian karena khawatir berlian tersebut datang dari daerah-daerah konflik.

Dan guess what? Katherine seorang ateis yang datang dari keluarga sekuler. Ia, tidak seperti saya, tidak dibesarkan secara agama. Dan seperti saya, ia menganggap semua agama dan kitab suci hanya dongeng belaka.

Kalau Anda taat beragama dan yakin bahwa agamalah yang membuat Anda tetap baik, tanyakan ke diri Anda sendiri, apakah Anda sudah se”baik” Katherine (yang, btw, juga seorang vegetarian)? Atau sekedar “baik” secukupnya menurut agama Anda saja (tidak nyolong dompet orang, tidak  membunuh, menghormati orang tua, rajin ibadah, sedekah, yaddayadda)? Menjadi baik secukupnya itu mudah kalau Anda bukan seorang sociopath. Menjadi benar-benar baiklah yang susah. Saya juga masih berusaha agar bisa sebaik teman saya Katherine.

(Alika)

~~~

P.S.

Omong-omong soal korupsi tadi, sebagai penutup, ini daftar 10 negara paling tidak korup menurut studi yang diselenggarakan Transparency International (dimuat di Reuters):

Paling tidak korup (sesuai peringkat):

  1. Denmark
  2. Selandia Baru (skor sama dengan Denmark)
  3. Finlandia
  4. Swedia (skor sama dengan Finlandia)
  5. Norwegia
  6. Singapura (skor yang sama dengan Norwegia)
  7. Swiss
  8. Belanda
  9. Australia
  10. Kanada (skor yang sama dengan Australia)

Bosan yah. Negara-negara yang sama terus yang muncul. 

Pasti konspirasi jiionis!

Pasti konspirasi jiionis!

Sumber:

http://economicsandpeace.org/

http://www.eiu.com/

Klik untuk mengakses 2013_Global_Peace_Index_Report.pdf

Klik untuk mengakses 2012-Global-Peace-Index-Report.pdf

http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-12811197

Klik untuk mengakses 99-010-x2011001-eng.pdf

http://www.theguardian.com/world/2013/nov/11/sweden-closes-prisons-number-inmates-plummets

Klik untuk mengakses RED-C-press-release-Religion-and-Atheism-25-7-12.pdf

Eurobarometer Poll Report 2010

Lockard, Craig A. Societies, Networks, and Transitions: A Global History. Volume II: Since 1450. 2nd ed. Cengage Learning, 2010.

http://www.reuters.com/article/2013/12/03/idUS95815491020131203

GALLUP WorldView Poll 2006-2011 via http://en.wikipedia.org/wiki/Irreligion_by_country#Countries