Apakah kaum religius lebih bahagia dari orang ateis? Jawabnya: ya!

20130825-234515.jpg

Dua tahun lalu, seorang kawan saya yang masih religius (sekarang ateis, tapi bukan itu fokus kita dalam artikel ini) memperlihatkan artikel penelitian yang menunjukkan bahwa secara statistik, orang-orang religius lebih bahagia ketimbang mereka yang non-religius. Penelitian ini didukung oleh banyak peer review dan replikasi serupa sehingga bukan merupakan anecdotal evidence. Non-religius dan ateis lebih mudah terserang stres dan depresi sementara orang-orang religius lebih resisten terhadap depresi dan menunjukkan indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dalam cakupan populasi yang sama. Ketika menunjukkan artikel-artikel ini, rekan saya dengan wajah penuh kemenangan mengatakan “in your face, atheist!! Muahahaha…

Saya bisa memahami bahwa ketika orang beragama menghadapi masalah, dia memiliki sosok untuk mengadu, terlepas dari apakah doa bisa mempengaruhi hasil (berdasarkan hasil penelitian-penelitian berikut ternyata tidak), ada rasa ketenangan yang didapat seseorang ketika berdoa. Berbeda dengan ateis yang cenderung taktis dalam menghadapi masalah dan fokus pada solusi. Tentu ketika solusi secara jelas tidak bisa didapat, ateis rentan terhadap stress dan depresi.

Namun ternyata ketika kita melihat lebih dalam dan melakukan cross analysis dengan faktor faktor yang terlibat di dalamnya, agama menang dalam indeks kebahagiaan bukan karena alasan sesederhana itu. Pertama, penelitian-penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat dan negara-negara maju di mana perilaku manusia cenderung lebih individualistik dan agama adalah salah satu sarana aktivitas sosial yang paling dominan dalam mempersatukan masyarakat. Dan aktivitas sosiallah yang secara signifikan berpengaruh terhadap kebahagiaan. Diener and Seligman (2002) menunjukkan bahwa orang-orang religius secara signifikan lebih terikat pada lingkungan sosial lewat agamanya, yang mana jika populasi ini dikeluarkan dalam penelitian maka agama dalam lingkup individu sama sekali tidak memprediksi kebahagiaan lebih tinggi dibanding non-religius.

Didukung juga penelitian Salsman, Brown, Brechting, & Carlson (2005), orang-orang religius lebih memiliki keinginan untuk mendukung lingkungannya secara sosial dan hal ini juga berkorelasi terhadap kemapanan psikologis.

Paling penting, Okulicz-Kozaryn (2010) menunjukkan bahwa kepuasan hidup mereka yang religius hanya ada secara signifikan jika mereka tinggal di lingkungan di mana mayoritas orang adalah religius. Di lingkungan di mana mayoritas orang adalah non religius, perbedaan tingkat kebahagiaan tidak terlihat secara signifikan dari dua kelompok tersebut.

Cukup jelas bagaimana faktor pembeda adalah aktivitas sosial, dan bukan merupakan faedah suci yang dikaruniakan Tuhan. Saya pribadi mengenal banyak orang yang mengaku lebih bahagia setelah terbebas dari dogma dan bertemu dengan rekan-rekan yang sepemahaman. Terlebih lagi, terlepas dari itu semua, masa di mana anak masih percaya Sinterklas tentu lebih menyenangkan dibanding ketika dia menyadari bahwa Sinterklas hanyalah dongeng.

Further reading:

http://springerlink.metapress.com/content/650q541579041625/fulltext.html

http://psr.sagepub.com/content/14/1/84.abstract,A

http://www.psychologytoday.com/blog/death-love-sex-magic/201212/are-religious-people-happier-non-religious-people

Cohen-Zada, D. & Sander, W. (2011) Religious Participation versus Shopping: What Makes People Happier? Journal of Law and Economics.

Diener, E., & Seligman, M.E.P. (2002). Very happy people. Psychological Science, 13, 81-84.

Okulicz-Kozaryn, A. (2010). Religiosity and life satisfaction across nations. Mental Health, Religion & Culture, 13, 155-169.

Salsman, J. M., Brown, T. L., Brechting, E. H., & Carlson, C. R. (2005). The link between religion and spirituality and psychological adjustment: The mediating role of optimism and social support. Personality and Social Psychology Bulletin, 31, 522–535.

18 komentar di “Apakah kaum religius lebih bahagia dari orang ateis? Jawabnya: ya!

  1. Hampir semua fungsi agama sudah ada padanan sekulernya, tinggal dibiasakan saja. Yang belum cuma post-death experience, cuma agama yang cukup sotoy untuk menjawabnya..

  2. Kaum religius setidaknya meyakini satu hal disaat mahluk hidup sejenis manusia tidak lagi
    dapat dipercaya, tidak dapat lagi saling memperhatikan, tidak lagi dapat saling mengasihi
    tidak lagi dapat saling menolong, tidak lagi dapat saling memberikan masukkan terbaik bagi jiwa yang kosong, fikiran yang kalut dan bathin yang membutuhkan masukan yang baik dan positif

    Setidaknya ada satu Dzat yang masih tersisa, satu Dzat yang diyakini mewakili dan memiliki semua keadilan dan semua harapan manusia, Dzat tersebut adalah Dial Sang Pencipta. Sang Pencipta dengan berbagai nama penyebutan. walau Dzat tersebut tak nampak, tak berwujud, tak berawal dan tak berakhir.

    Apabila kaum atheis berfikir dari “ada karena ada” mungkin keberadaan Tuhan menjadi sesuatu yang “Ada karena Perlu”, setidaknya sebagai lentera kecil
    bagi jiwa dan rohani, setidaknya saat sesama manusia tak lagi dapat membantu apalagi dipercaya… saat seorang anak kecil masih mempercayai Sinterklas, saat itu mungkin dia masih bisa tersenyum there is still hope for these live………to be good.

  3. Agama bukan hanya sekedar ritual wajib yang bersifat ke-Tuhan-an. di dalam agama juga dibahas mengenai pedoman2 dalam berinteraksi sosial dan bagaimana menjalani kehidupan didalam masyarakat.
    Jadi sulit juga kalau dipilah2 antara kedua hal itu.
    (kalo gitu cara pikirnya, ntar jadi sama aja dong dengan ekstremis radikal yang sangat fokus ttg hukum keTuhanan hingga berbuat buruk dengan sesama manusia)
    Tapi, penelitian menarik 🙂 ada yang berminat melakukannya ulang dengan konteks budaya Indonesia?

  4. Maaf sebelumnya hanya ingin menyuarakan pikiran seorang anak kecil yg belum banyak tau dan berharap diberi tau.
    kalo memang judul tulisan diatas “kaum religius lebih bahagia dari orang ateis, dan jawabannya adalah ‘ya’ ”
    pertanyaan saya kenapa orang atheis tidak menjadi bagian dari kaum religius ?
    dan didasarkan penelitian2 tadi yg berpengaruh pada tingkat kebahagiaan adalah bersosialisasinya, bukankah setiap orang memang makhluk sosial yg butuh sosialisasi begitu juga orang atheis yg butuh sosialisasi, dimana mayoritas Indonesia adalah kaum religius.
    kenapa masih mensosialisasikan atheis kalo memang yg disosialisasikan adalah orang yg bersosialisasi di lingkungan religius ?
    terimakasih.

  5. Teori relativitas; dari sudut pandang apa dulu kebahagiaan itu dinilai, pasti jawaban akan berbeda. Mungkin orang religius itu lebih berbahagia terlindung oleh Tuhannya namun ateis itu mungkin lebih pasti, mengikuti hukum alam dan dengan demikian tidak munafik, merasa bahagia, hitam adalah hitam dan putih adalah putih. Filsuf Kong Fusius dengan teori Im dan Yang menilai kebahagian sempurna ada ditengah-tengah dan manusia sulit mengambil posisi tersebut kerena pada dasarnya manusia itu dekstruktiip dan serakah, Secara moral dan etika yang diajarkan oleh agamanya harus menuju pada keseimbangan hidup, ditengah-tengah namun dilanggarnya, kebanyakan kekiri atau banyak kekanan. Contohnya di Indonesia, maling ayam kerena desakan hidup atau korupsi kerena desakan keserakaan dan ketidakpuasan, Maling ayam kerena hukum alam, lapar harus makan berbanding koruptor adalah orang terhormat, saleh berjilbab dan pertinggi syariat.

  6. Oh, bener itu..
    Makanya semua agama mngajarkan kebersamaan, spy bs saling mngenal, silaturahmi, mpererat tali psaudaraan, tolong-menolong, saling mngajak kebaikan. Emang kalo atheis gak bs gitu? Bisa aja. Tp mreka hrs ngalami gak enaknya hidup individualis dulu, baru tercetus ide “eh, bikin perkumpulan yuk”. Pdhl agama uda lbh dulu mngajarkan itu dr dulu2 kala tanpa perlu kita susah2 dulu berindividualis. Kalo agama sy si, dan sy rasa semua agama jg mngajarkan hal yg sama, kita dtuntut utk saling mngajak kebaikan. Bukan berarti atheis gak bisa, tp skali lg, bagi atheis tdk ada paksaan, org bebas mw ngajak ato gak ngajak, “yg penting sy sndiri uda baik, dan gak mrugikan org lain”. Krn itu agama jg mngajak kita bergaul dg siapa saja tp bteman dg org2 baik, utk saling mnguatkan. Agama sy pun melarang utk bsikap individualis, dikisahkan ada sbuah desa yg isinya org2 yg bbuat maksiat dan hnya ada 1 org alim, ketika Tuhan mmerintahkan utk mengadzab desa itu, malaikat btnya “bagaimana dg org alim itu?” Lalu Tuhan mjawab “adzab jg dia krn tdk peduli pd sekelilingnya”.
    Jd gak heran deh, org2 beragama yg mngikuti tuntunan agama bs lbh bahagia drpd yg tidak beragama ato yg tdk mngikuti tuntunan agamanya.

  7. artikel itu tdk membuktikan apa”. mslh kebahagiaan seseorang adlh berhubungan dengan psikologis org tsb. banyak faktor” yg bs mempengaruhi psikologis seseorang untuk dpt bahagia, salah satunya mgkn dg menghisap ganja haha…

    poinnya adalah religi dan efek psikologis adalah 2 hal yang berbeda. dan sebaiknya ditinjau dari masing spektrum, tdk sekedar mengatakan bahwa kaum teis lbh berbhagia d bdg kaum ateis.

    apa kekejian atas dasar religi buta dapat d jadikan faktor kebahagiaan? jawabnya adl tidak scra umum!!

  8. orang Islam menjadi orang yang selalu berbahagia seandainya dia selalu memelihara keimanannya…

    Dari sahabat Abdurrahman bin Abi Ya’la dari sahabat Shuhaib r.hu, dia berkata telah bersabda Rasulullah saw,

    ”Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (hadist riwayat Muslim)

    http://alqurannews.blogspot.com/

  9. kuncinya :
    yang religius lebih bahagia karena sadar dengan ‘ketidakmampuannya’ (untuk mengontrol segala sesuatu sebagai manusia) sehingga memilih untuk pasrah & berdoa..
    yang ateis kurang bahagia karena memilih untuk menuruti kedagingannya, mempertanyakan segala sesuatu, mencoba untuk kritis & berpikir bahwa semua pertanyaan ada jawabnya dan pada akhirnya menjadi sombong karena merasa lebih rasional (menggunakan rasio) saja

    Ingat ya.. satu saja, bahwa manusia yang tidak sempurna haruslah menyadari ketidaksempurnaannya dulu sebelum bisa menjawab segala hal

  10. saya bukan org yg beragama, religius, atheis, deis, agnostik, atau pantheis, saya hanyalah homo sapiens, salah satu spesies penghuni bumi, salah satu planet dari trilyunan planet lainnya di alam semesta ini, dan saya berbahagia untuk itu, bukan hanya berbahagia sebagai homo sapiens yang konon katanya mahluk paling cetar membahana hasil evolusi, tetapi merasa berbahagia menjadi salah satu elemen yang sama pentingnya bahkan dengan seekor badak jawa yang hampir punah, atau tidak lebih penting dari tempat sampah dengan belutng didalamnya, atau tidak lebih penting dari debu yang menghiasi jendela kaca, atau tidak lebih rendah dari seorang bupati atau seekor jerapah, tidak merasa lebih rendah dari pada sandal dan cacing tanah, atau tidak juga merasa lebih suci dari tanah juga rumputnya, semua hal termasuk kita didalamnya adalah detail kecil yang nyaris seakan tak berharga dibelantara alam semsta yang mungkin mencapai tak hingga luasnya, kita hanyalah gumpalan pixel dari gambar beresolusi trilyunan yottabyte, menjadi bagian dari elemen pemebentuk eksistensi semesta sebagaiamana yang kita kenal saat ini,
    saya berbahagia bukan karena rasa aman yang diberikan doa atau jawaban memuaskan dari empisme & rasionalitas yang diberikan sains pada kita, tetapi saya berbahagia karena memang saya mampu melakukannya, sebab berbahagia adalah bukan hanya satu-satu elemen penting dari bagaimana saya dan spesies saya tetap melanjutkan eksistensinya dan terhindar dari kemalangan hingga kepunahan, walaupun kepunahan bukanlah hal yang perlu ditakuti, sebagaimana bangsa reptil raksasa yang telah jutaan tahun lamanya menguasai bumi, dan menjadikan bumi menjadi seakan miliknya, ternyata juga mampu punah membatu menunggu di temukan oleh para arkeolog yang mungkin juga lupa bahwa suatu saat nanti manusia juga akan punah dari planet ini, membatu terongok terkubur tanah. justru itu saya berbahagia, merayakan aneka kehidupan yang silih berganti mengisi planet yang usianya barulah 4,5 milyar tahun ini.
    saya berbahagia karena saya ikut menari bersama harmoni 4 kekuatan yang sedang mengendalikan semesta raya, nuklir kuat, nuklir lemah, elektromagnetik dan terakhir gravitasi yang membuat kita tak pernah lupa bahwa kita harus lengket menempel permukaan bumi, untuk itu saya berbahagia, berbahagia menjadi bagian dari bentuk-bentuk unik yang mengukir semesta yang menari dengan sempurna dengan pola-pola rasio emas sebagaimana yang telah diketahui nenek moyang kita sejak mereka menyembah Matahari sebagai Tuhan sesembahannya, untuk itu saya bahagia..
    saya berbahagia karena semua hal adalah yang terbaik sekaligus yang paling sempurna, kesempurnaan semua tatanan semesta raya mengada sebagaimana mestinya, selalu ada selama-lamanya, hanya terus berubah menjadi seuatu tanpa henti, tanpa ujung, big bang, big cruch, nebula, supenova, lubang hitam hingga lubang cacing hanyalah cara semesta untuk selalu mengada, bukan material tapi medan pertautan antara horizon-horizon ruang dan waktu yang melengkung bersama partikel, gelombang juga energinya, dan menjadi tempat yang layak untuk kita mengada menjadi bagian kecil darinya..
    Tuhan bukanlah semesta, begitupun pula sebaliknya, tak ada yang perlu menciptakan apa atau siapa, tak perlu pula risau meributkannya, karena semuanya tak perlu dibela untuk terus ada dan mengada, karena semuanya hanyalah bentuk lain kehampaan yang menyala di kerapatan yang tak hingga, dan untuk itu saya hanya perlu berbahagia untuk menikmatinya.
    Tuhan tidaklah “ada”, tapi sekaligus tidak “tidak ada” walaupun bukan berarti “ada”, maka berbahagialah, rayakan takdirmu, cintailah nasibmu, hidupilah detikmu…

  11. hampir semua manusia yg hidup mencari ‘kebahagian’. Berbagai cara dan usaha dilakukan demi kebahagian hidup. Ketentraman, ketenangan, kesenangan dan keamanan dalam menjalankan kehidupan ini akan menjadi tujuan hidupnya. Damai….kedamaian ??? Kedamaian….!!!!
    Selalu menjadi cita2 sepanjang masa. Pernahkah terwujud …….? Semua kita ingin memujudkan hal itu. Akankah terwujud ? Gak mungkin..skali lgi gak mungkin…dan gak mungkin!. Knp gak Mungkin ?
    Jawabnya…tanya pd diri kita sendiri. Sudahkah kita ‘Berdamai’ dg diri kita sendiri ? Orang tua kita ? Saudara kita ? Istri kita ? Anak2 kita ? Tetangga Kita ? dst… dst… dst ?. Kenapa gak bs Damai ? Karena gak ‘satupemahaman’. knp gak bs ‘satupemahaman’ ? Karena kita memupuk ‘EGO’.
    Dalam agama yg saya yakini, IBLIS lah yg memiliki EGO itu, aku Engkau ciptakan dari pada api, mengapa aku harus bersujud kpd yg Engkau ciptakan drpd tanah ?. ( iblis ‘merasa’ lebih kuat, lebih baik, dan lebih benar ). dan dia akan senantiasa bersama kita yg memupuk EGO tanpa terkecuali. Apa pupuknya EGO ? Benci dan dengki adalah vitaminnya EGO. Setinggi apapun kedudukan kita, hanya permusuhan dan kerusakan yg akan terjadi. Tuhan bukanlah ‘sosok’ yg harus dibuktikan dan minta dibuktikan secara lahiriah keberadaanya. Tapi meyakini (IMAN) lah yg akan mengarahkan kita kpd keberadaanNYA. Dan pupuknya Iman adalah Kasih Sayang dg kerendahan hati. Dan berendah dirilah krn ‘sosok’ yg ‘tersembunyi’ itu, dan ‘Temu’kanlah dlm ketersembunyian. Semoga….

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s