Mengapa saya ateis? (Jawaban dari Veronica Pramesti)

Dikirim oleh: Veronica Pramesti

Mengapa saya menjadi seorang ateis, tentu saja ini merupakan sebuah kisah hidup yang tidak dapat diceritakan dalam bentuk testimoni singkat, mengingat keputusan yang saya ambil beriringan dengan perjalanan hidup saya yang saat ini masih berlangsung. Ateis adalah ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan makhluk supernatural lainnya. Untuk sampai ke tahap tidak percaya tentunya bukan suatu hal yang mudah mengingat saya sendiri lahir di dalam keluarga yang sangat relijius dan taat beribadah. Saya tidak pernah absen pergi ke gereja, selalu hadir dalam kebaktian keluarga, mengadakan renungan pagi setiap hari, dan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.

Saya lahir dua puluh empat tahun yang lalu dalam keluarga Kristen yang relijius. Ayah dan ibu saya keduanya orang Kristen taat yang mengajarkan anak-anaknya untuk juga taat beragama. Saya lahir dan besar dalam lingkungan gereja, dibaptis dan mengaku percaya sebagai orang Kristen. Di dalam Kristen ada dua jenis pembaptisan. Pada saat saya masih bayi saya dibaptis menurut kepercayaan dan iman orang tua. Ketika saya berusia lima belas tahun, usia yang dianggap cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri, saya mengikuti program katekisasi (pengenalan lebih dalam mengenai iman kekristenan), lalu dibaptis ulang dalam upacara yang dinamakan sidi.

Sejak saya kecil saya selalu berandai-andai, jika saya dilahirkan dalam keluarga dengan agama lain, apakah saya akan selamat dan masuk ke dalam surga? Bukankah kebetulan saja saya lahir di keluarga Kristen yang katanya kalau mengaku percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai juruselamat maka tidak akan masuk ke dalam neraka dan menderita sengsara selama-lamanya? Lalu apakah artinya ini? Apakah itu berarti saya termasuk dalam orang-orang pilihan? Lantas kalau demikian mengapa tidak semua orang saja dilahirkan sebagai Kristen, bukankah dia Tuhan yang Maha Adil dan Maha Kasih dan Penyayang? Mengapa Ia membiarkan timbulnya perbedaan dan kegalauan dalam umat manusia? Saya ngeri sekali melihat Tuhan yang seperti itu, Tuhan yang di satu saat bisa marah dan membunuh ribuan manusia dan di sisi lain bisa mengasihi dan mencintai manusia. Menurut saya itu hubungan yang pasif agresif yang sangat absurd. Tetapi di kala itu pada saat saya bertanya pada mentor sekolah minggu saya ia hanya menjawab “Tidak ada satu manusia pun yang bisa menyelami pikiran Tuhan.” Karena dia tidak bisa memberikan jawaban lain lagi, maka saya menerima saja dan hidup dengan itu. “Tuhan punya pemikiranNya sendiri dan Dia tetap Maha Kasih dan Maha Sayang, …meski Dia bunuh-bunuh orang.“

Menginjak usia dua puluhan saya mulai banyak membaca buku, termasuk buku Biologi yang mengajarkan tentang teori Evolusi, sementara dunia semakin terbuka dengan adanya kemajuan teknologi internet. Sialnya (atau mungkin bisa dibilang beruntung?), saya semakin banyak menemukan hal-hal yang tidak masuk akal di dalam Alkitab yang saya tidak bisa toleransi lagi. Terasa begitu menyebalkan dan membuat saya sakit hati, betapa kebenaran membuat pikiran kita menjadi kacau-balau, dimana logika dengan apa yang diajarkan selama ini terlalu kontradiktif dan tidak bisa berjalan secara bersamaan. No, absolutely cannot. Saya yang sebelumnya seorang Kristen dari lahir, seorang organis gereja dan bisa dibilang anak baik-baik, kemudian menjadi goyah iman. Bagaimana mungkin seorang perawan bisa melahirkan? Apakah Adam dan hawa manusia purba? Bukankah Bumi sudah muncul lebih dari 4,5 miliar tahun yang lalu? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Hal-hal semacam itulah yang saya temukan di lautan internet, yang membawa saya sampai ke titik menjadi seorang agnostik ateis, dimana saya tidak tahu dan tidak percaya terhadap Tuhan.

Akhirnya pada suatu saat saya bertemu orang-orang yang mirip dengan saya, yang juga mempertanyakan kebenaran Tuhan beserta agama yang begitu bengal dan membuat banyak manusia saling membenci satu sama lain. Selain ajarannya yang tidak masuk akal, yang lebih parah adalah orang-orang yang mempraktekkannya, yang mengkotak-kotakkan manusia menganggap seakan-akan orang dengan agama A lebih baik dari agama B dan seterusnya. Padahal kita semua toh sama-sama manusia, apa yang kita makan akan menjadi kotoran juga dan tidak ada kotoran yang terbuat dari emas. Saya pikir dunia tentu saja akan jauh lebih baik daripada apa yang diajarkan oleh agama. Tidak benar orang hanya bisa baik dengan agama. Menyadari bahwa kita harus berbuat dan bersikap terhadap orang lain sesuai dengan bagaimana kita ingin diperlakukan, saya kira itu sudah cukup. Sains banyak membantu manusia dalam berbagai hal, apakah kontribusi dari agama?, hanya menghabiskan anggaran dan membuat orang semakin lama semakin bodoh. Dunia akan lebih indah tanpa agama, sayangnya tidak semua orang berani keluar dari zona nyamannya.

106 komentar di “Mengapa saya ateis? (Jawaban dari Veronica Pramesti)

  1. Saya sendiri bingung jika semua agama mebgajarkan kebaikan lalu kenapa agama masih meggolongkan umat manusia ” jika tidak beragama A maka itu dinyatakn kafir dan halal darahnya”
    Apakah itu agama ? Jika ada seseorang yang dilahirkan di suatu pulau terpencil tanpa pengetahuan agama tapi selama hidupnya berbuat kebaikan apakah dia kelak matinya masuk neraka karena dia tidak punya agama atau masuk surga karena selama hidupnya berbuat kebaikan?
    Dan jika ada seorang beragama didalam hidupnya sering melakukan keburukan tapi katena dia beraga dan didalam agama tsb dijanjikan akan masuk surga dan semua dosa akan ditanggung oleh agamanya/Tuhannya/Nabinya sebagai juru selamat, apakah benar dia akan masuk surga karena kepercayaan tsb?
    Jikalau memang benar Tuhan itu ada bagaimana Tuhan menilai hal tsb?
    Tolong jawab pertanyaan org yg tersesat ini saudaraku..

Tinggalkan Balasan ke katrok Batalkan balasan