Bayangkan ada seseorang yang datang pada Anda dan menyombongkan bahwa dia memiliki ilmu yang tidak diketahui orang lain, yakni unicornology. Sebuah ilmu yang mengetahui secara detail bagaimana unicorn berkembang biak, bagaimana laju pertumbuhan tanduk per tahun dan bagaimana air kencingnya bisa menyembuhkan anemia. Bagaimana Anda menanggapi orang tersebut?
Tentu ini menarik. Selagi belum bisa dibuktikan bahwa unicorn itu ada, seseorang mengaku mengetahui secara persis segala hal tentang unicorn. Lebih mengherankan lagi, dia membanggakan hal itu.
Ada banyak sekali “ilmu” di luar sana, mulai dari astrologi, akupuntur, ilmu meraga sukma, ilmu santet, hingga filsafat. Seseorang bahkan mengajarkan tentang seluk beluk dunia jin dan mengutuk siapa pun yang mengkritiknya dengan tuduhan kafir. Apa yang kita lewatkan di sini? Jelas bahwa siapa pun bisa mengarang secara detail sebuah buku tentang subyek apa pun dan lalu melabelinya dengan ilmu. Menurunkan kepada orang lain, dipelajari banyak orang, dan bahkan dianggap terlalu suci untuk dikritik. Pertanyaannya jelas, siapa yang bisa menjamin apa yang disampaikan oleh “ilmu-ilmu” tersebut memang benar? Dari mana kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah di tengah lautan informasi yang diklaim sebagai ilmu?
Dari situlah muncul orang-orang yang peduli dan mulai merumuskan sebuah metodologi untuk mendapatkan kebenaran sebaik mungkin. Mereka lalu membuat satu kategori yang hanya bisa dimasuki oleh ilmu-ilmu yang memenuhi kriteria ini. Sebuah ilmu harus bisa diamati, memiliki kemampuan prediksi, memiliki cara untuk dikonfirmasi, dan juga memiliki cara untuk dinyatakan salah. Metode ini disebut “metodologi ilmu pengeetahuan” atau “scientific methodology”. Dan ilmu yang memenuhi kriteria tersebut disebut sebagai sains. Sementara itu, ilmu yang tidak memenuhi metodologi tersebut dan mengklaim dirinya sebagai sains disebut sebagai “pseudoscience”.
Sains menjadi produk yang berharga karena segala hasilnya telah melalui serangkaian pengujian dan terbuka untuk selalu dikritik dan disempurnakan. Evolusi misalnya, secara tegas mengatakan tentang konsekuensi, dan kemampuan untuk memprediksi semua jenis mahkluk hidup yang mungkin ditemukan di kemudian hari. Ditemukannya melinjo berbunga, pakis berkayu, burung yang memiliki susu, mamalia berbulu burung, atau ikan dengan gigi geraham dan taring sekaligus adalah secuil contoh dari apa yang tidak mungkin akan terjadi jika teori evolusi benar. Dan sejauh ini, semua species baru yang ditemukan hampir setiap minggu, sejalan dengan rantai DNA, dan tree of life yang dikemukakan teori evolusi. Secara sederhana, kita mempercayai hal-hal yang terbukti, yang sejalan dengan apa yang telah terlebih dulu dibuktikan.
Sekarang bandingkan dengan “ilmu” lainnya. Masing-masing agama misalnya, memiliki teori sendiri bagaimana alam semesta ini bermula, bagaimana munculnya mahkluk hidup. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, titik. Tuhan menciptakan alam semesta dalam 7 hari, titik. Tidak boleh ada kritik. Jika suatu saat manusia membuktikan hal-hal yang bertentangan dengan “ilmu” pada teks-teks suci, kita dipaksa menerjemahkan kembali teks-teks itu hingga sesuai dengan fakta baru yang ditemukan. Teks suci tidak pernah salah, terjemahan manusia bisa salah. Sementara itu, mempertanyakan apakah ‘teks suci’ itu adalah buatan manusia dianggap sebagai penistaan agama.
Inilah kenapa kita melihat sains sebagai cara yang paling tepat untuk mencari fakta. Karena sistemnya memungkinkan untuk selalu dikaji ulang dan siap diruntuhkan ketika ada bukti baru yang bertentangan. Berbeda dengan cara lain yang sering mengaku sebagai “kebenaran mutlak” dan mengancam siapa pun yang hendak mengujinya.
-val-
Ping balik: Selamat datang di web ABAM! | Anda Bertanya Ateis Menjawab
Ping balik: Selamat atang di ABAM! | Anda Bertanya Ateis Menjawab
diatas di tulis :
“Burung yang memiliki susu, mamalia berbulu burung, atau ikan dengan gigi geraham dan taring sekaligus adalah secuil contoh dari apa yang tidak mungkin akan terjadi jika teori evolusi benar…dst”
apakah maksudnya :
“Burung yang memiliki susu, mamalia berbulu burung, atau ikan dengan gigi geraham dan taring sekaligus adalah secuil contoh dari apa yang tidak mungkin akan terjadi jika teori evolusi SALAH..”
manakah yg benar?
🙂
http://www.scienceislam.com/scientists_quran.php
Scientist dunia aja sdh mengakui bhw byk science knowledge si quran yg sdh terbukti du zaman modern, sedangkan Quran sdh ada dr 1400 sebelum masehi..
scientist dunia kebanyakan agnostic atheist kok, contoh, Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Neill deGrasse Tyson, Hawking, Sam Harris, Richard Feynman, dll, liat https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_atheists_in_science_and_technology buat lengkapnya.
Siapa bapak science negara kita pak?
Kalau ada yang salah kasih tahu dan nasehati donk!
“sebelum masehi..”
Allah Swt berfirma, “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang.” (QS Al Isra: 12)
Sejak empat belas abad yang lalu, para sahabat Nabi telah berkesimpulan bahwa bulan dahulu memancarkan cahaya, namun kemudian Allah Swt menghilangkan sinarnya.
Baca lengkap:
Bulan Dahulu Bersinar Kemudian Padam Cahayanya
http://www.eramuslim.com/peradaban/quran-sunnah/bulan-dahulu-bersinar-kemudian-padam-cahayanya.htm#.U4upe6LaLXQ
agama bukan Sains dan sains itu bukan agama. Quran bukan ilmu sains dan ilmu sains itu bukan Quran. apa pandangan agama bagi para pemikir Rasionalisme dan Sosiologi?
1. Feuerbach berpandangan :
Agama sebagai proyeksi yang dibuat oleh manusia dari sifat-sifat dan kemampuan-kempampuan dasar yang ada padanya dan menjadikannya suatu makhluk supranatural. Proyeksi ini membiarkan manusia secara psikologis dikosongkan dari sifat-sifat hakiki itu dari harus menyembah kekuatan supranatural dan meminta kembali sifat-sifat atau keutamaan-keutamaan itu.
2. Karl Marx perpandangan :
Agama adalah Alienasi (Pangasingan/Perenggangan/pemisahan).
Agama membalikkan perhatian manusia dari situasi real di dunia ini dan mengarahkannya kepada kehidupan setelah kematian. Agama mengasingkan manusia itu dari kemampuan-kemampuannya sendiri dan menyebababkan dia teralienasi. Ciri-ciri khas yang dikenakan pada Allah sebetulnya tidak lain daripada ciri-ciri khas manusia yang diproyeksikan kepada Allah yang mengontrol manusia melalui perintah-perintah-Nya.
Agama dalah candu kepada masyarakat.
Agama memiliki sifat penghiburan atau candu bagi masyarakat, tetapi penghiburan itu bersifat sementara. Penghiburan yang bersifat semantara ini tidak lebih dari ubat bius yang memberikan pelepasan-pelepasan semantara dari penderitaan dengan risiko efek-efek sampingn yang berbahaya. Ubat-ubat bisu tidak pernah memecahkan masalah, demikian juga agama yang adalah candu tidak memberikan jalan keluar yang tuntas tetapi hanya yang bersifat sementara untuk orang dapat bertahan dalam penderitaannya. Agama memainkan peranan penting mengabadikan kondisi-kondisi yang menciptakan penderitaan-penderitaan. Agama sama sekali tidak menawarkan cara-ara yang harus ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, tetapi jalan keluar yang bersifat sementara.
3. filsafat Eksistensialisme (Sartre) mengatakan :
“yang disebut kodrat manusia itu tidak ada, kerana tidak ada Tuhan untuk mengadakannya”. Jean Paul -Sartre menolak gagasan kaum beragama bahwa adanya Tuhan. Sartre berkata “manusialah yang menciptakan kodrat manusia itu”.
4. Sigmund Freud pula berpandangan :
Agama adalah : “pelarian neurotis dan infantia dari realitas”. Sidmund mengatakan “Tentu Tuhan tidak ada. yang ada adalah alam dengan manusia, dan segala masalahnya. Bagi kami cukup bahwa kami menemukan bahwa agama menurut kodrat psikologis merupakan sebuah ilusi”
5. Nietzsche pula berpandangan :
agama adalah sentimen mereka yang dalam hidup nyata kalah, maka mengharapkan bahwa pernah, sesudah hiudp ini, mereka akan dimenangkan oleh kekuatan di alam baka. Nietzsche menggambarkan agama dan moralitas sebagai “sosok busuk hibrid yang membenarkan semua naluri dekaden, semua pelarian dan kecapaian jiwa”. Maka agama harus ditolak dengan jijik oleh orang yang masih mempunyai harga diri… “kejujuran menuntut untuk mempertahankan diri bersih dari kepercayaan akan Allah”.
ada sesetengah filsuf lain yang mengatakan, orang yang percaya kepada Tuhan memperbudak diri sendiri sedemikian rupa kepada sosok ilusi yang bahkan tidak pernah mereka lihat dan buktikan eksistensinya. dengan percaya kepada delusi yang mempersona, manusia menyerahkan kehendak dan kebebasan mereka kepada sosok ilusi (yg menurut Feuerbach dicipta oleh manusia sendiri)
Secara logika…
Jika Tuhan tidak ada maka…
Atheis menang, nonAtheis juga menang karena surga neraka tidak ada…
Jika Tuhan ada maka…
Atheis kalah, nonAtheis menang.
So kondisi apapun nonAtheis menang.
maka logika saya berkata…
Untuk menang saya harus menjadi nonAtheis…
namun itu baru ronde pertama…
Ronde berikutnya mencari Tuhan….
ternyata Tuhan tidak dapat dilihat.
Tidak dapat dilihat tetapi Ada…
Tiada ada logika lain selain Tuhan Maha Besar sehingga kita tidak dapat melihatnya…
Bangga juga menjadi Atheist walaupun kena diskriminasi dilingkungan sosial.
Jika dengan menggunakan logika tidak mungkin kita ini dapat menjadi seperti sekarang karena setelah terjadi ledakan big bang lingkungan tidak mungkin dapat menampung kehidupan.Jika menggunaka teori evolusi seharusnya masih ada manusia setengah kera.tidak mungkin seluruhnya punah
Dimana mana saya bertemu atheis selalu bicaranya “teori” evolusi darwin. Tidak ada satupun litelatur di bumi ini yang teruji secara ilmiah yang mengungkapkan FAKTA evolusi tsb (jika ada saya berani menganut faham atheis). Tidaklah layak disebut ilmu pengetahuan (science) jika masih berupa teori. Anda mengaku praktisi science, tapi sangat mempercayai suatu yg masih berupa TEORI.
apa salahnya jika ada seseorang yang percaya jika unicorn, pegasus, yeti, lochnes monster, genderuwo atau bahkan tuyul sekalipun?
tidak pernah ada yang sebenarnya lebih benar daripada yang lainnya, semua keyakinan punya metodologinya sendiri untuk menjelaskan jawabannya, rayakanlah keragaman juga keunikan aneka metode untuk menguji aneka fakta yang sebenarnya hanyalah persoalan perspektif belaka.
bahkan sains juga menemukan jalannya dengan metode-metode anti mainstream pada awalnya, dan selalu begitu seingatku, ingatlah dengan aristoteles, galileo, newton, enstein hingga heisenberg menjelaskan realitas menurutnya sendiri, padahal tak pernah ada observasi yang menghasilkan realitas secara valid, dan lagi-lagi semuanya hanyalah soal perspektif menterjemahkan fakta, dan sialnya itupun belum tentu realitas sebenarnya.
entah evolusi maupun kreasionis macam anan oktar adalah sah mengutarakan apa yang menjadi keyakinannya, tentunya dengan metodologinya sendiri, sebagaimana kita tidak bisa mengatakan bahwa freud lebih shahih daripada erikson menterjemahkan kesadaran dan ketidaksadaran manusia.
rayakanlah keyakinanmu, keunikanmu, metodemu, sebagimana seruan gila fisikawan sinting fayerabend, semuanya bisa jadi benar sekaligus salah, sebab perpektif membuat realitas tidaklah pernah tunggal, sebagaimana cahaya yang bisa berarti gelombang sekaligus partikel disaat yang bersamaan..
jayalah unicorn.. hiduplah penguin… bahagialah kita…
Saya kutip sedikit untuk berbagi pendapat mengenai hal tersebut, tapi sebelumnya saya minim informasi tentang ilmu pengetahuan. seperti apakah ilmu sosial juga bisa di sebut sign?
– “Sementara itu, mempertanyakan apakah ‘teks suci’ itu adalah buatan manusia dianggap sebagai penistaan agama?”
mungkin yang di pertanyakan kebenaran dari apa yang di sampaikan ‘teks suci’ trsbt, bukan tinta atau bentuk teksny kan?
kita = subjek (beriman vs anda). sebagai sesama manusia (disini saya mohon ijin untuk berpisah sejenak agar lebih mudah membahasnya) meneliti kebenaran masing2 tidak ada larangan untuk itu, mempunyai kesimpulan masing2 dari hasil penelitianny pun tidak ada masalah. yang menyatakan hal itu penistaan adalah Allah SWT sebagai subjek pemilik teks tsbt, bukan orang beriman dan itu pun bersyarat. artinya tidak semena2 judge ny terhadap anda. Dia memberi kesempatan di jadikan objek sepanjang umur kita, ketika anda menyimpulkan ny salah, Maka anda bertanggung jawab langsung kepada Allah, bukan kepada orang beriman.
– “Berbeda dengan cara lain yang sering mengaku sebagai “kebenaran mutlak” dan mengancam siapa pun yang hendak mengujinya.”
pada bagian yang ini, “cara lain/cara orang beriman” yang anda maksud berbeda dari metode yang anda gunakan juga harus anda hormati sebagai pertanggung jawaban terhadap sesama.
informasi2 yang ada di dalam kitab suci lebih menekankan ilmu sosial individu, dan sebagian menerangkan ilmu alam untuk di ambil manfaatnya dan kedua ny berkaitan secara langsung.
sebenarnya perbedaan orang beriman dan Atheism hanya sedikit, hanya pada masalah subjek dan objek
*saya percaya karna Allah sebagai (Subjek), sedang kan
-anda percaya karna Allah sebagai (objek) yang tidak ada.
*orang beriman menjadikan kitab suci sebagai landasan hukum sosial (subjek). sedangkan
-anda menjadikan “teks suci” sebagai teori (objek).
*orang beriman menjadikan alam semesta sebagai (objek) yang di teliti, dimanfaatkan, di jaga dan di syukuri.
-anda mejadikan alam semesta sebagai (objek) yang di teliti, dimanfaatkan, di jaga (tidak disyukuri) jika anda juga bersyukur mungkin bedanya begini :
*bersyukurnya orang beriman artinya berterima kasih kepada Allah (subjek) yang memberi.
-bersyukurnya anda artinya berterima kasih kepada (objek). objek yang mana?
– “Inilah kenapa kita melihat sains sebagai cara yang paling tepat untuk mencari fakta. Karena sistemnya memungkinkan untuk selalu dikaji ulang dan siap diruntuhkan ketika ada bukti baru yang bertentangan.”
saya ada pertanyaan yang sedikit sinis terhadap anda mengenai ilmu pengetahuan. semakin penelitian kekinian, semakin modern atau semakin tertinggal??
Lebih modern mana
yang menggunakan manfaat kunyit pertama kali, atau
yang memberitakan manfaat kunyit terakhir kali?
dua2 ny fakta kan?
kalo menurut saya sih dua2 ny modern, meski lebih condong ke yang pertama. hehe gak nyambung kan?
jadi menurut saya beragama dan berteknologi tidak bertentangan selama dalam koridor “bermanfaat”
di dalam Agama tidak ada yang modern, juga tidak ada yang terbelakang.
Saya kutip sedikit untuk berbagi pendapat mengenai hal tersebut, tapi sebelumnya saya minim informasi tentang ilmu pengetahuan. seperti apakah ilmu sosial juga bisa di sebut sains?
– “””Sementara itu, mempertanyakan apakah ‘teks suci’ itu adalah buatan manusia dianggap sebagai penistaan agama?”””
ini yang valbiant tulis, mungkin yang di pertanyakan adalah kebenaran informasi2 yang di sampaikan ‘teks suci’ tersebut, bukan tinta atau bentuk teksny kan?
kita = subjek (orang beriman vs valbiant). sebagai sesama manusia (disini saya mohon ijin untuk berpisah sejenak agar lebih mudah membahasnya) meneliti kebenaran masing2 tidak ada larangan untuk itu, mempunyai kesimpulan masing2 dari hasil penelitianny pun tidak ada masalah. yang menyatakan hal itu merupakan sebuah penistaan adalah Allah SWT sebagai subjek pemilik “teks suci” tsbt, bukan orang beriman dan itu pun bersyarat. artinya tidak semena2 judge ny terhadap anda. Dia memberi kesempatan di jadikan objek sepanjang umur anda, ketika anda menyimpulkan ny salah, Maka anda bertanggung jawab langsung kepada Allah, bukan kepada orang beriman, karena orang beriman “tidak memiliki kesimpulan apapun terhadap apapun yang di hadapiny melainkan bagian dari Ujian” dan kesimpulan mutlak adalah dari Allah SWT.
– “””Berbeda dengan cara lain yang sering mengaku sebagai “kebenaran mutlak” dan mengancam siapa pun yang hendak mengujinya.”””
pada bagian ini dari tulisan diatas, “cara lain/cara orang beriman/Agama” yang saya tangkap maksudnya adalah metode yang berbeda dari metode yang anda gunakan (sains) juga harus anda hormati sebagai pertanggung jawaban terhadap sesama.
informasi2 yang ada di dalam kitab suci lebih menekankan ilmu sosial individu, dan sebagian menerangkan ilmu alam untuk di ambil manfaatnya dan kedua ny berkaitan secara langsung.
sebenarnya perbedaan orang beriman dan Atheis hanya sedikit, hanya pada masalah subjek dan objek
*saya percaya karna Allah sebagai (Subjek), sedang kan
-anda percaya Allah sebagai (objek) yang tidak ada.
*orang beriman menjadikan “kitab suci” sebagai landasan hukum sosial (subjek). sedangkan
-anda menjadikan “teks suci” sebagai teori (objek).
*orang beriman menjadikan alam semesta sebagai (objek) yang di teliti, dimanfaatkan, di rawat dan di syukuri.
-anda mejadikan alam semesta sebagai (objek) yang di teliti, dimanfaatkan, di rawat/eksploitasi, tidak disyukuri. jika anda juga bersyukur mungkin bedanya begini :
*bersyukurnya orang beriman artinya berterima kasih kepada Allah (subjek) yang memberi.
-bersyukurnya anda artinya berterima kasih kepada (objek). objek yang mana?
– “”””Inilah kenapa kita melihat sains sebagai cara yang paling tepat untuk mencari fakta. Karena sistemnya memungkinkan untuk selalu dikaji ulang dan siap diruntuhkan ketika ada bukti baru yang bertentangan.””””
*orang beriman memanfaatkan fakta yang ada, sedangkan
-anda mencari faktanya
saya ada pertanyaan yang agak sedikit sinis terhadap anda mengenai ilmu pengetahuan. semakin update sebuah penelitian maka akan semakin modern atau semakin tertinggal??
Lebih modern mana?
orang yang menggunakan manfaat kunyit pertama kali, atau
orang yang mencari fakta kemudian memberitakan manfaat Curcuma longa (kunyit) terakhir kali?
kalo menurut saya sih dua2 ny modern. yang terbelakang itu yang meruntuhkan fakta bahwa nenek moyang kita dulu makan kunyit.
sekarang apa perasaan mu wahai objek???