Mengenal ateisme tidak membuat saya menjadi seorang ateis.

Original post by: Findha
Sumber : Vynda blog

Saya adalah seorang muslim. Terlahir di dalam keluarga yang seluruhnya beragama Islam.

Islam dalam keluarga kami tergolong biasa saja, Ayah dan Ibu saya bukan seorang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap agamanya. Mereka pun membebaskan anak-anaknya melakukan hal apa saja, asal tidak keluar dari norma-norma masyarakat dan melanggar nilai moral yang dijunjung tinggi dalam keluarga kami.

Kami beribadah, berbaur, saling tukar pendapat tentang apa saja, termasuk pandangan masing-masing dari kami mengenai agama. Satu hal yang masih membekas dalam ingatan, ketika saya dan Ayah berdiskusi tentang ‘Teroris, bom, dan kematian orang-orang yang tidak tahu apa-apa’, mengutip ucapan beliau saat itu “Kalo kamu cerdas, jangan menelan bulat-bulat apa yang baru kamu dengar atau baru kamu pelajari. Gunakan mulutmu untuk bertanya!sebagaimana fungsinya kan?!” dalam pikiran saya menjerit, “wah! bokap gue keren!”

Lanjut pada topik selanjutnya …

Seperti kebanyakan orang pada saat itu, tahun 2009 saya membuat sebuah akun Facebook yang awalnya hanya bertujuan untuk sekedar berbagi cerita dan derita (?). Saya berFacebook-an sebagai mana ABG labil lainnya, sedikit alay, saya juga sering ‘ngelike’ fanpage islami yang bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan tentang agama islam yang saya imani dari kecil.

Entah takdir apa yang Tuhan berikan kepada saya, pertengahan tahun 2011 ketika saya sibuk bolak-balik Beranda-Profil Facebook, terlihat satu postingan dari teman Facebook saya untuk sebuah fanpage yang bertemakan tentang Ateisme, Anda Bertanya Ateis Menjawab. Sekitar beberapa hari saya sempat stalking, menyimak beberapa postingan dan komentar dalam page ABAM, baru akhirnya dengan beberapa pertimbangan saya ikut ‘ngelike’ page tsb.

| Apa yang terlintas pertama dalam pikiran Anda mengenai kata ‘Ateis’?

Sejujurnya, saya mendengar kata Ateis saja baru beberapa kali saat itu, dan yang saya tahu hanya Ateis adalah orang yang tidak memiliki agama dan tidak percaya dengan keberadaan Tuhan.

Saya masih ingat pertanyaan yang pertama saya tanyakan di ABAM, “Apa pandangan Ateis mengenai seks sebelum pernikahan?”

Banyak komentar-komentar yang sama sekali di luar pemikiran saya, mereka bebas beropini apa saja, tidak berdasarkan satu rujukan yang hukumnya tetap, satu kepala berbeda dengan kepala lainnya, tidak menggeneralisir suatu objek permasalahan, dan bisa memberikan bukti dari referensi yang mereka ambil.

Ketika saya mencoba berkontribusi untuk menjawab postingan-postingan di ABAM, banyak pertanyaan muncul, apakah saya Ateis …?

Saya sebagai makhluk sosial juga ingin bersosialisasi dengan orang lain, entah melalui media apa pun, berbagi pengetahuan, bertukar informasi, beropini bebas sebebasnya, dan tidak mau terkekang dalam dogma yang menyudutkan “Wanita itu kedua, karena laki-laki terlahir memimpin.”

Agak mengerikan melihat lingkungan yang mulai memberi judgement tentang apa yang Anda lihat, apa yang Anda baca, apa yang Anda pelajari. Karena masyarakat tidak mau membuka pikirannya terhadap hal baru yang menurut mereka adalah ‘tabu, aneh, dan sesat’.

Saat ini telah 2 tahun saya berdiskusi di page ABAM, dan saya tetap seperti biasa menjalankan ibadah dan aturan-aturan dalam agama Islam, karena untuk Teis seperti saya agama adalah hubungan saya dengan Tuhan, dan menjadi Teis tidak membuat saya melihat sebuah masalah hanya dari satu sudut saja. Lalu, banyak hal menarik yang saya ambil dari orang-orang Ateis. Cara mereka berpikir, pengetahuan yang mereka miliki, informasi yang dapat saya peroleh, semuanya terlihat clear dan mudah dipahami.

| Melihat jawaban-jawaban yang saya ketik, lalu apakah saya Liberal?

Nggak tau. Itu jawaban yang pertama muncul dalam pikiran saya. Entah label apa yang diberikan orang lain ketika menilai saya, saya tidak terlalu ambil pusing. Jika orang bertanya apakah saya Islam, saya jawab “ya …” dan apakah Islam liberal? saya jawab “nggak tau”. Wallahu’alam deh. Saya hanya berusaha menjadi pribadi yang open mind, kritis, skeptis, melihat sebelum menilai, menjunjung tinggi moralitas, karena nilai moral bukan hanya terletak dari agama, serta membuktikan kepada kaum Ateis bahwa Islam tidak buruk, malas belajar, dan bigot.

Ini ceritaku, bagaimana ceritamu?

7 komentar di “Mengenal ateisme tidak membuat saya menjadi seorang ateis.

  1. nimbrung ya,
    sudah semestinya setiap orang itu punya rasa ingin tau yang tinggi, dalam Agama itu malah tuntutan loh, cuma sayang sekali banyak orang termasuk yang beragama tapi sayangnya tidak punya keinginan untuk belajar dan membuka pikiran secara luas dan terbuka, takut melewati garis batas dengan resiko terjatuh ke jurang kenistaan.
    padahal dengan banyak mencari tau justru akan makin bisa mengerti dan memahami kebenaran yang sesungguhnya.

    satu hal yang pasti, menjadi manusia cerdas bukan berarti harus jadi atheis, kenapa?
    ya karena orang-orang yang cerdas sesungguhnya adalah orang yang menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan, sains, filosofi, sejarah, sosial, tak terkecuali mempelajari berbagai macam pandangan Agama secara dalam, juga bisa menerapkan ilmunya secara nyata, bukan sekedar teori. 🙂 itu baru yang namanya cerdas.
    saya perhatkan anak-anak atheis ini cuma berfokus pada sains saja, kurang mapan donk klo begitu ilmunya 😀

    keep smart

    • //saya perhatkan anak-anak atheis ini cuma berfokus pada sains saja, kurang mapan donk klo begitu ilmunya//

      Don’t be arrogant. I am atheis and still comparing the islamic history and book to taurah and Rosseau. Dengan bagitu saya lebih paham motif politik dan human behavior apa yg menjadikan suatu hukum agama akhirnya disusun.

    • Ada alasan kuat kenapa kita mengacu kepada sains. Bukan semata mengagungkan hasilnya, tapi metodologinya yang memungkinkan semua dikritik dan siap ditinggalkan begitu ada pembuktian yang mengatakan sebaliknya. Dan melihat keterbatasan anda dalam memahami sains, perlu dutekankan bahwa metodologi ilmu pengetahuan digunakan juga dalam ilmu sosial.

      Saya menulis ini secara lebih lengkap dalam artikel https://andabertanyaateismenjawab.wordpress.com/2013/08/09/kenapa-ateis-banyak-yang-mengacu-pada-sains/

      Agama memiliki dua dimensi yang pada satu titik saling overlapping. Yang pertama sebagai tuntunan hidup, yang kedua mendiktekan fakta. Bahwa tuhan ada, tak boleh dibantah. Bahwa adam dan hawa ada, tak boleh dibantah. Bahwa ista miraj terjadi, tak boleh dibantah. Bahwa banjir nuh terjadi, tak boleh dibantah. Posisi anti kritik untuk dimensi faktual pada agamalah yang kita sesalkan.

  2. yang lebih mengerikan lagi dari agama adalah klaim kitab suci masing masing
    islam : selain islam agama yang lain salah dan akan masuk neraka
    kristen: hanya yesus yang bisa menebus dosa manusia..kalau tidak menerima yesus..walau bagaimana baik pola hidup anda pasti masuk neraka!
    emang gue takut????

  3. saya pastikan tidak akan berkomentar hal yg sifatnya tabu, contoh saya atheis,
    dengan tidak menggunakan nama lengkap, id facebook atau google+…

    saya atheis, tetapi tidak akan mengumbar sana sini kemana-mana, cukup KTP saja yg beragama,
    label kredibilitas negatif oleh orang lain bisa merusak bisnis dan kedamaian anda sendiri,
    jika memang ingin berpendapat pemikiran anda, keep it anonymous…

  4. Saya sedikit tertarik dengan opini bahwa “banyak Atheis yang berpendapat bahwa mereka mengacu pada sains. jika sains telah mengalami perkembangan maka teori yang lama akan mereka tinggalkan.” jadi apabila muncul lagi teori – teori yang baru, maka teori yang lama akan ditinggalkan lagi, dan akan begitu seterusnya karena sains tidak akan pernah habis.
    Itu dikarenakan pikiran manusia memang terbatas. ya benar, pikiran manusia itu terbatas oleh waktu.

    orang bijak berkata “Suatu sains bisa dikatakan mendekati sempurna (karena tidak akan pernah ada yang tau batas sempurna itu seperti apa) apabila telah dilakukan riset berulang ulang dan pembuktian berulang ulang oleh seorang pemikir atau yang kita sebut ilmuwan, yang dimana memerlukan waktu yang cukup lama atau bahkan sangat lama.”
    dengan contoh satu ilmuwan berhasil menemukan satu bukti yang mana akan disempurnakan oleh ilmuwan generasi selanjutnya. dengan kata lain ilmuwan pertama tidak akan pernah bisa mendapatkan kebenaran atas penelitian ilmuwan kedua atau generasi selanjutnya. berlaku pula untuk ilmuwan kedua, dia tidak akan pernah menemukan kebenaran dari penelitian generasi ketiga, dan begitu seterusnya.
    dengan kata lain, orang yang menganut paham Atheis dihari ini, tidak akan menganut paham Atheis dimasa mendatang, begitu juga sebaliknya. karena Sains akan terus berkembang seiring waktu.

    Dulu saya sangat BODOH, mencoba mencari tau cara memperbaiki Radio yang rusak hanya dengan bermodal ilmu secukupnya, alhasil saya jadi pusing memikirkan ini dan itu, fungsi ini dan fungsi itu, dan kenapa resistor harus disini, kenapa harus pake power (tegangan listrik), dan tentunya butuh waktu sangat lama untuk menyelesaikan perbaikan radio itu.
    sampai saya bergumam “Aaaaaahhhh begitu bodohnya diri saya, kenapa saya harus menghabiskan waktu mencari sendiri cara memperbaiki radio ini, kan bisa beli buku cara memperbaiki radio. dibuku itu kan sudah ada panduan-panduan untuk memperbaiki radio. nanti saya pun juga bisa sambil belajar tentang fungsi resistor dll.”

    Jadi, sampai saat ini pun masih belum ada patokan apakah beragama itu benar, atau non-beragama yang benar. namun secara universal untuk yang berpatokan hanya pada sains tidak akan pernah menemukan yang namanya THE TRUTH SAINS (Sains yang sesungguhnya), karena sains akan terus memperbaiki dirinya sampai waktu ini berakhir (sempurna diakhir).
    Dan untuk yang beragama pun belum tentu benar, Namun secara internal orang yang beragama setidaknya sudah benar dalam keYAKINannya menjalankan petunjuk agamanya. (sempurna diawal)

    Disini saya tidak meyerang Atheis atau mendukung Theis, pemikiran saya hanya sebagai media sharing pendapat serta ilmu yang telah saya amati di alam ini (university of life). mudah mudahan bisa menjadi pertimbangan dalam belajar mengenal kehidupan.

Tinggalkan komentar