Meninggalkan Agama Bukan Berarti Meninggalkan Semua Tradisi dan Nilai Agama

Saya memulai hidup dengan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Protestan. Waktu SD Saya beberapa kali ikut kebaktian Khong Hu Cu walaupun Khong Hu Cu belum jadi agama resmi Indonesia. Pada saat SMP, Saya sering mengikuti kebaktian Vihara Buddhis Threavada, tapi gak terlalu rajin. Adek saya jauh lebih rajin, dan dia sering membawa majalah buddhis ke rumah.

Membaca buku-buku Buddhis membuat Saya beranggapan bahwa buddhisme itu lebih rasional daripada agama lain. Sampai kuliah, KTP saya masih Kristen tapi Saya lebih suka untuk mengikut aktivitas Buddhisme di kampus. Semester akhir kuliah, Saya melamar kerja di sebuah yayasan Kristen, kebetulan KTP saya masih Kristen. Karena ada temen yang di sana dan direferensikan, akhirnya Saya bisa diterima bekerja. Lucunya, saya pernah memimpin doa di sana!

Baru setelah waktunya KTP diperpanjang, saya mengganti agama KTP saya menjadi Buddhisme. Menjadi seorang Buddhis, Saya sempat mengimani dogma-dogma Buddhisme seperti karma, rebirth, 31 alam, 7 cakra, dan energi panas kundalini. Saya juga menjalankan aktivitas-aktivitas khas Buddhisme seperti belajar fengshui, ba zi, bahkan mempelajari reiki. Saya bahkan sempat membeli amulet yang bisa membuat aura saya terang berkharisma dan mengikuti workshop berbayar untuk dibukakan auranya! Haha, tapi itulah saya dulu. Itu semua saya lakukan karena saya ingin sukses, dan di saat itu saya percaya bahwa hoki ditentukan dari karma baik.

Namun, yang membuat saya skeptis adalah ketika saya justru mempelajari Buddhisme. Setelah mempelajari meditasi dan energi, saya menjadi skeptis, dan di situlah mulai muncul konflik batin. Dan setelah makin mendalami lagi, ya Olloh, ternyata Buddhisme itu cuma membahas tentang psikologi diri. Saya bisa menerima itu, tapi banyak aspek lain dalam Buddhisme terutama spiritual yang Saya tinggalkan.

Sekarang saya bisa dikatakan sebagai ateis agnostik. Menurut saya, meninggalkan agama bukan berarti meninggalkan semua tradisi dan nilai agama. Menjadi ateis membuat saya lebih skeptis dan menolak ajaran-ajaran dogmatis, tapi saya sadar ada beberapa nilai Buddhisme yang turut menentukan bagaimana saya memandang hidup dan menjalaninya.

– Dono, ateis agnostik.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s